Lihat ke Halaman Asli

Belajar Konsisten pada Orang Jawa

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14263224421219286877


Saya takjub pada orang-orang Jawa yang mayoritas memiliki krakter giat dan cakang dalam menjalankan rutinitas ibadah. Salat jamaah, misalnya. Masyarakat Jawa, yang saya tahu, mereka adalah orang-orang yang senang melakukan salat berjamaah. Hampir setiap waktu masyarakat Jawa menjalankan aktivitas salat dengan berjamaah. Hal itu, menurut saya, karena di Jawa tidak semua orang memilik mushalla atau langgar. Tidak seperti di rumah saya, Madura, yang mana setiap rumah memiliki mushalla sendiri-sendiri. Sehingga, paling banter orang Madura melakukan salat berjamaah hanya dengan keluarga. Lain lagi dengan orang Jawa, yang mengerjakan salat berjamaah dengan para tetangga. Tidak hanya dengan keluarga.
Efeknya pun sangat efektif dan efisien dalam menjalin dan mempererat tali solidaritas antar sesama. Dan memang di antara tujuan utama disyariatkan salat berjamaah adalah untuk menjalin dan membentuk ukhuwah yang masif antar sesama orang Islam. Saya merasakan ini waktu saya ditugas di Jawa dulu. Hampir setiap hari saya salat berjamaah. Jika saya tidur, terkadang saya dibangunin oleh salah satu tetangga untuk melakukan salat berjamaah bersama.
Orang Jawa juga sangat antusias mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian yang di adakan oleh lembaga tertentu atau pun oleh lainnya. Seperti yang ada di tempat tugas saya. Biasanya setiap Selasa pagi dihelat acara pengajian yang diikuti oleh orang-orang lanjut usia (kakek-kakek). Hampir setiap Selasa pengajian tersebut selalu full, bahkan tidak pernah tidak full. Yang wanita (sudah nenek-nenek) juga tidak kalah antusias dengan yang kakek-kakek. Mereka semua semangat dan sangat antusias.
Kegiatan lain yang membantu terjalinnya tali ukhuwah yang masif di tempat tugas saya adalah tahlilan keliling setiap malam Jumat. Lumrahnya di sana, setiap malam Jumat diadakan tahlil keliling. Jumat ini di mushalla si A, Jumat ini di mushalla si B, seperti itulah biasanya. Jadi, setiap minggu masyarakat di sana ngumpul dan ngobrol bareng-bareng. Di tambah, tradisi di sana setelah tahlilan pasti ada konsumsi berupa nasi yang di dapat dari sumbangan para tetangga dekat mushalla yang mempunyai giliran tahlilan. Meski sangat sederhana, namun begitu mengesankan. Tak terlupakan.
Ah! Saya jadi iri. Di rumah saya tidak ada kegiatan semacam itu. Di perparah lagi dengan lunturnya rasa persaudaraan yang sebeblumnya begitu kuat dalam tradisi orang-orang Madura. Orang Madura dulu dikenal dengan orang yang sangat ramah dan juga orang yang sangat kuat tali persaudaraannya. Akan tetapi, kerukunan dan tali solidaritas yang sebelumnya begitu masif itu, saat ini sudah mulai luntur, diterjang modernisasi. Mereka lebih memilih hidup nafsi-nafsi, sendiri-sendiri. Semua disebabkan orang Madura masa kini sudah terpengaruh oleh budaya materialisme dan kapitalime yang, saat ini, sedemikian menjamurnya.
Saya merasa sudah nggak kerasan lagi tinggal di Madura. Setiap saat yang saya saksikan hanya aroma persaingan yang begitu ketat. Berebut harta dunia yang laknat, penyebab lahirnya kesenjangan di antara masyarakat.
Ah! Kembalikan desa saya yâ rab?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline