Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Saya Harus Menyesal?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyesalan biasanya hadir setelah datangnya kegagalan. Atau orang bisa menyesal setelah semuanya terjadi dan tidak sesuai dengan keginginannya. Tak ada orang yang menyesal sebelum semuanya terjadi. Penyesalan memang kerap kali datang belakangan. Menghadirkan penyesalan terlebih dahulu, sebelum semuanya terjadi adalah suatu kemustahilan. Tapi, bagaimana kalau penyesalan itu di antisipasi? Apakah itu mungkin, sehingga tidak terjadi penyesalan?

Penyesalan memang sesuatu yang niscaya bagi semua orang yang mengalami kegagalan. Tidak sedekit orang yang menyesal yang akhirnya putus asa dan ngedrob. Memang, kegagalan itu tidak ada yang enak. Kegagalan seringkali membuat diri kita sakit dan terkadang pula kita dibuat tak berdaya olehnya.

Namun, tidak semua kegagalan berdampak negatif bagi yang mengalaminya. Sebab, dalam meraih kesuksesan tidak semua berjalan dengan mulus. Kadangkala untuk menaiki tangga kesuksesan kita harus melalui dulu yang namanya kegagalan. Tidak sedikit orang yang sukses di dunia ini yang sebelumnya pernah mengalami kegagalan.

Andai saja Thomas Alfa Edison tidak sabar dan menyerah saat melakukan percobaan yang ke 9.998, tentunya sejarah peradaban tidak akan memihak kepadanya dan tidak menobatkannya sebagai sang penemu lampu pijar (bola lampu). Berkat kegigihannya, ia berhasil dalam percobaan yang ke 9.999. Kegigihan itu pun akhirnya mendapatkan balasan yang luar biasa. Kegigihan membuat Thomas Alfa Edison bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan oleh orang lain. Uniknya tokoh ini adalah, dalam menanggapi kegagalan yang ia hadapi. Ia hanya berkata bahwa dengan gagal 9.998 kali, ia mengetahui 9.998 cara agar lampu tidak menyala. Luar biasa!

Tidak hanya Thomas Alfa Edison yang pernah mengalami kegagalan beruntun, Michel Jordan juga. Sebelum ia menjadi most valuable player (pemain terbaik) basket NBA, ia juga pernah mengalami kegagalan beruntun. Ia berkata, “Saya sudah berkali-kali mengalami kegagalan dalam hidup saya, dan karena itulah saya mampu meraih kesuksesan”. Pepatah mengatakan, “Kegagalan adalah guru terbaik”. Sedangkan, Jhon F. Kennedy menyatakan, “Orang yang takut gagal total berarti ia takut sukses total”.

Gagal, siapa yang menginginkannya? Sukses, siapa yang tak ingin? Orang waras pasti ingin sukses dan tak ingin mengalami kegagalan yang menjengkelkan, dan kegagalan yang menimbulkan penyesalan. Maka, letakkanlah penyesalan itu di depan. Dengan kata lain, kita berusaha untuk mengantisipasi akan terjadinya penyesalan. Jangan sampai ia hinggap dalam kehidupan kita.

Sekarang, apakah itu mungkin? Tentu saja. Caranya mudah: kita harus bersungguh-sungguh atau kita langsung tancap gas sampai ke angka seratus, agar kita tidak gagal dan bisa meraih impian kita. Sebab, tidak sedikit orang yang mengalami kegagalan yang tidak diinginkan, akhirnya menyesal dan putus asa. Mereka menyesal karena tidak sungguh-sungguh memperjuangkan apa yang diinginkan.

Oleh karena itu, kita harus sungguh-sungguh mewujudkan mimpi kita agar tidak terjadi penyesalan. Walaupun pada kenyataannya nanti kita didera kegagalan–setelah berjuang dengan sungguh-sungguh–, kita tidak akan menyesalinya. Sebab, kegagalan itu terjadi bukan karena kita tidak usaha dengan sungguh-sungguh.

Kita harus yakin itu adalah kesuksesan yang tertunda. Kita harus sabar dan tidak boleh menyerah. Kita jadikan kegagalan itu sebagai guru terbaik. Jangan sampai kita jatuh pada lubang yang sama untuk yang kedua kalinya, dan atau jangan sampai kita buat kegagalan itu sabagai sumber penyesalan. Karena, terkadang penyesalan bisa menimbulkan sikap pesimis. Orang yang mudah menyesal, mudah putus asa.

Jadi, kita harus sadar bahwa dalam meraih kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gagal bukan berarti tidak sukses. Namun kesuksesan semakin dekat ketika kita mengalami kegagalan. Saya yakin jika kita bisa berpikir seperti itu, kita takkan pernah menyesali kegagalan yang mendera.

Kita juga harus sadar bahwa manusia hanya melakukan bukan menentukan. Al-insan bittakhyir, wallahu bit taqdir. Kegagalan yang kita alami semua atas kehendak Allah swt. So, buat apa kita menyesali apa yang telah ditakdirkan oleh-Nya. Toh, semua itu tidak akan merubahnya. Hanya dengan bangkit dan berjuang kembali yang akan merubah segalanya. Dalam al-Qur’an Allah swt menegaskan, “Janganlah kalian berputus asa atas rahmatku”.

Presiden pertama RI, Soekarno, selalu mengatakan tiga kalimat, “JANGAN PERNAH MENYERAH.” Menyerah berarti Anda kalah. Kalah berarti Anda membiarkan kegagalan menimpa Anda. Menyerah adalah awal dari timbulnya penyesalan. Kita tidak boleh menyerah pada kegagalan. Kegagalan bisa membuat kita jatuh, dan dapat pula mendorong kita untuk lebih baik dan maju. Kegagalan bagaikan pisau. Bisa bermanfaat bagi kita, tapi juga bisa melukai kita. Tergantung apakah kita memegangnya pada bagian tajam atau pada hulunya.

Terakhir, kita tidak boleh mudah menyerah, menyesal, dan apalagi putus asa. Menyesal hanya membuang-buang waktu saja. Membuang waktu berarti membuang uang. Bukankah pepatah modern mengatakan, “Time is money”? Ingatlah kegigihan Thomas Alfa Edison dan Michel Jordan yang tak pernah mau menyerah pada kegagalan. Bahkan mereka sukses karena belajar pada kegagalan yang menimpa mereka. Mereka tidak pernah menyesalinya. Karena mereka sadar, kegagalan adalah tangga menuju kesuksesan sejati. Bukan sebagai penghalang. Tanamkan prinsip: saya bisa berhasil bila saya berpikir bahwa saya memang bisa.

Jadi, mengapa kita harus menyesal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline