Lihat ke Halaman Asli

Siapa Penggembala Teror Itu?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang mendasari aksi anarki di Rempoa kemarin? Pertanyaan ini, seringkali dicoba ungkap hampir semua orang. Bagi kita --karena jauh dari kawasan itu, hanya bisa memonitor melalui media massa. Tentu, akses informasi kita pun sangatlah terbatas. Dan karenanya, dugaan dan penilaian spekulatif kita --yang, akhirnya muncul.

Tapi, peristiwa amok massa, bentrokan konyol dan tindak kekerasan semacam ini, sudah bukan hal baru lagi. Sampai-sampai, ada yang mengatakan; "hobby-nya kok tawuran". Komentar seperti ini, menunjukkan betapa kita sudah terbiasa dan akrab dengan pemandangan tragis semacam itu. Jadinya, tidaklah aneh. Bahkan, bagi mayoritas warga, barangkali mereka juga sudah bosan. Sekaligus juga heran, mengapa --lagi dan lagi, prilaku anarki selalu saja menimpa diri mereka yang tak berdosa.

Bentrok massa --antara FBR Vs Kembang Latar (dan mungkin, unsur-unsur massa lain juga terlibat), di kawasan Rempoa, merupakan sebagian kecil contoh tersebut. Peristiwa serupa, sudah sangat sering terjadi. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di kawasan lain negeri ini.

Kadang, tindakan amok massa ini dipicu hal-hal sepele, remeh-temeh sifatnya. Awalnya, biasanya sebatas baku-mulut, saling ejek dengan kata-kata makian. Pokok masalah dalam baku-mulut ini pun, biasanya tak jelas. Yang terdengar hanya kata-kata kasar, emosi yang tinggi dan temperamental orangnya. Jika sudah begini --tak lama kemudian,  mulut tidak lagi bicara. Batu dan apa saja yang ada di sekeliling mereka, berterbangan di antara dua titik massa itu.

Peristiwa yang sama, sering terjadi dalam event-event konser musik di lapangan terbuka. Konon, hanya karena akibat baku-senggol, perkelaian massal bisa terjadi. Apakah ini juga termasuk hobby tadi?

Lalu, bagaimana dengan insiden Rempoa tadi? Saya kira, banyak faktor dan terlalu rumit jika diurai satu per satu. Meski pemicu (trigger)-nya hal yang sepele, bisa jadi akar masalahnya yang terlanjur dalam. Yang sering kita dengar, biasanya soal dinamika kehidupan gangster dalam memperebutkan daerah koloninya. Dalam bahasa populernya, mereka sedang berebut lapak atau lahan makan.

Begitu lapak mereka terancam, sampai kapanpun akan mereka pertahankan. Bagi mereka, lapak bermakna sumber penghidupan dan kehidupan mereka. Juga, lapak berarti simbol nyawa mereka.

Fenomena FBR, sebagai ormas, memang tak banyak diketahui program dan aktifitasnya. Meski ormas ini beorientasi pada ikatan etnik Betawi --konon, tidak semua orang Betawi masuk jadi anggota ormas tersebut. Bahkan, banyak orang-orang non-Betawi juga ikut terlibat dalam ormas ini. Mereka sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta.

Yang sering kita dengar, belakangan ormas ini mengembangkan dirinya dalam bisnis jasa partikelir, berupa jasa keamanan, parkir dan pungutan liar lainnya. Keberadaan bisnis mereka, semakin hari semakin eksis. Dan hampir bisa dipastikan, mereka juga menjalin hubungan khusus --terutama pihak aparat, sebagai backing aktifitasnya.

Terlebih, massa ormas ini dikenal memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat. Mereka bisa digerakkan dan difungsikan sesuai dengan 'pesanan' elit/kelompok tertentu. Misalnya, dalam events-event politik --semisal pilkada maupun pemilu.

Disadari atau tidak, mereka bisa jadi dimanfaatkan pihak tertentu --hanya sebagai kelompok penekan maupun kepentingan politik tertentu. Di sini, mereka tak ubahnya kelompok massa berbayar. Namun, kecenderungan semacam ini biasanya dipersiapkan secara matang dan rapi. Hanya elit mereka sendiri yang tahu, target politik dan capaiannya. Massa di bawah, hanya tergerak atas persinggungan-persinggungan riil --seolah insiden itu berjalan secara wajar dan alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline