Selalu manis untuk diucapkan, ternging dalam ingatan walau waktu tak lagi satu. Mereka bilang persahabatan sejati akan selalu abadi. Mereka bilang sahabat yang menjadikan kita kuat. Dengan sahabat, mereka bilang suka duka terlalui dengan lompatan pasti. Tak ada tolok ukur pasti dalam sahabat kategori. Kebersamaan bukanlah jaminan sahabat abadi. Lantas, sahabat mana yang kalian maksudkan?
Sahabatku, dengan modal embel-embel kata “sahabatku” terkadang aku menjadi apatis. Sahabatku, maaf aku tak suka menganggapmu “sahabat”. Istilah itu justru menjadikanku meremehkanmu. Dengan gelar itu, sering kiranya aku menolelir kesalahan yang kuperbuat padamu. Sahabatku, dengan istilah itu justru membuatku apatis dengan lingkungan sekitar. Karena hanya karena mereka bukan atau tidak memiliki label “sahabatku” lantas semakin diriku mengacuhkannya. Hanya karena teman biasa dan lantas aku tak mengistimewakannya. Sehingga aku lebih sibuk denganmu “sahabatku” dan membuatku buta pada yang lainnya.
Sahabatku, izinkanlah kiranya aku menyebutmu keluargaku. Karna memang kita berasal dari moyang yang sama “Adam”. Dengan istilah keluarga kita tak lagi memilih dan milah kawan kerabat. Semua kita guyubkan dalam rasa keluarga.
Cukuplah cukup penjelasanku ini, semoga kau mengerti. Tak pantas rasanya aku merengek menjadi istimewa. Biarlah biar, hanya Tuhan dan RasulNya yang menyandang gelar “sahabatku”. Karena sekali lagi, keistimewaan hanya patut kita berikan padaNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H