Lihat ke Halaman Asli

Sulung : “Mimpiku, Biarlah Menjadi Mimpi”

Diperbarui: 13 November 2015   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432057024516639290

 


[caption id="attachment_418700" align="aligncenter" width="300" caption="algristian.files.wordpress.com"][/caption]

Dhirga namanya. Terlahir sebagai anak sulung membuatnya banyak mencicipi keluh kesah orang tua. Kondisi ekonomi kelurga yang belum stabil dan sulitnya berjuang menata hidup, kerap menghibur di usinya yang masih belia. Tinggal di sebuah kontrakan kecil tepi sungai, telah menjadi bagian dari masa kecil. Ditambah banjir yang selalu menyapa ketika musim hujan semakin melengkapi hari-harinya.

Hidup di tengah kelurga pas-pasan sempat membelenggu ketika tetangga menganggap remeh kehidupannya. Ia tak menyalahkan mereka, untuk membeli sebungkus indomie saja ibu tak memiliki cukup uang. Dhirga kecil menangis kala itu dan hampir tiap hari teman-teman tak mau bermain bersamanya, karena tak memiliki makanan di rumah yang dapat mereka santap. Andai waktu kembali berputar, Dhirga tak ingin menagis kala itu. Karena dibalik tangisan, selalu ada tangisan ibu yang terus dipendam. Ia menyesal menangis, namun begitulah dirinya saat itu.

Berbeda dengan masa kecilnya, kedua adik terlahir dengan kondisi kelurga yang stabil. Selisih delapan tahun dengannya, sedikit banyak telah merubah wajah keluarga pada tingkat yang lebih mapan, tak lagi kekurangan di tengah masyarakat. Terselamatkanlah masa kecil kedua adiknya, masa kecil yang berbeda dengannya, masa kecil yang penuh bully dan selalu indah dalam memorinya.

Saat ini, Dhirga adalah pejuang skripsi, sebuah identitas wajar untuk mahasiswa tingkat akhir. Seperti mahasiswa kebanyakan, dalam diri tentulah ada gejolak mempersiapkan perang pasca kelulusan nanti. Kemana langkah ini selanjutnya, melanjutkan kuliah, bekerja, hingga mencari calon istri.

Dhirga merenung, namun ia lebih suka menyebutnya “bermimpi”. Benar saja, pemimpi selalu menawarkan opsi terbaik dalam mimpinya. Semua jalan dibuatnya lurus sesuai apa kata hati dan ambisinya. Sah-sah saja ia bermimpi, mumpung bisa bermimpi, atau setidaknya ia pernah bermimpi. Sebagian orang mengatakan mimpi adalah kekuatan untuk mencapai masa depan, “The Miracle of Dream”, The Power of Dream”, ada lagi temannya yang mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang tak mampu bermimpi. Oke bin fine, thats true guys!

Lihatlah, semua orang memiliki diri yang berbeda, sejarah hidup, dan kondisi keluarga yang berbeda. Kondisi hidup yang rumit terkadang menjadi pembatas seseorang untuk mengejar mimpi, atau justru sebalikanya, menjadi sebuah motivasi untuk melesat menggapai mimpi. Sebagai ajang pembuktian diri.

Namun Dhirga lebih memilih jalannya. Jalan yang berbeda dengan mimpi yang tiap hari ia rancang. Skenario bayang-bayangnya telah dipoles sedemikian rupa untuk menyesuaikan hak dan kewajiban yang ia miliki. Terlahir sebagai “si Sulung” tentu membuatnya memiliki kewajiban yang lebih dari kedua adiknya.

Sepintas terlihat seperti beban, namun ia memilih untuk menjadikan mimpi sebagai pemacu semangat hidup. Keberadaan orang tua yang tak lagi muda, menuntutnya untuk bekerja keras. Kedua adik yang masih belia tentu memerlukan banyak biaya untuk menyelesaikan pendidikan. Meskipun kedua orang tuanya masih mampu membiayai mereka, namun tetap saja, si Sulung tetaplah sulung, yang memiliki tanggung jawab tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga keluraganya. Hanya ia yang mampu mendeskripsikan tanggung jawab itu.

Mimpi melanjutkan belajar dan mencari penghasilan terpaksa ia adu. Itu alasan terbaik baginya untuk fokus pada tujuan yang akhirnya ia tetapkan, ia memilih mencari penghasilan. Setidaknya ia berusaha mengalah pada keadaan. Bukan karena ia tak mampu melakukan.

Namun, mimpi besar kembali mengujinya, tatkala ia terpaksa mengubur mimpi pada gadis yang ia idamkan. Gadis yang bertahun-tahun ia tunggu dalam selalu hadir di tiap mimpi kecilnya. Gadis yang selalu ia sebut tanpa nama di setiap sujudnya. Kemunculan gadis itu tiba-tiba, bak bidadari. Ia telah lama mengenalnya, namun baru kali ini ia menyadarinya.

Sosok lemah lembut itu jelas wujud nyata dari deskripsi gadis yang ia idamkan. Hingga detail yang ia harapkan pada sosok wanita idaman yang ia impikan. Mimpinya jelas, menjadikan pendamping hidup, membangun keluarga, hingga bersama gadis itu untuk menikamti hari tua. Jelas nyata, hingga gaya pakaian dan cara tersenyum, jelas gadis itu perwujudan nyata dari mimpi yang ia angankan.

Tuhan kembali menguji dirinya. Biarlah. Tuhan memiliki cara terbaik untuk memberikan kebahagiaan pada hambaNya. Bukan karena Tuhan ingin menyimpan rahasia, namun karena Tuhan tau apa yang hamba butuhkan, pikirnya. Ia tersenyum ketika menyadari gadis dalam mimpinya menjelma menjadi sosok salah satu temannya. Setidaknya, sebagian mimpi kecilnya telah menjadi nyata. Ia tak lagi meminta Tuhan untuk memberikan mimpi utuh datang padanya. Baginya, kehadiran gadis itu adalah sebuah bonus kehidupan. Sama seperti ia melakukan penelitian dan kemudian berhasil mengetahui hasilnya, menampilkannya dengan analisis nyata.

Dalam diam, ia termenung, menarik napas pajang, dan berujar :

“Biarlah Tuhan, biarlah gadis itu nyata dalam anganku. Biarlah gadis itu tumbuh dan tersenyum menyambut mimpinya. Karena mungkin, mimpi gadis itu berbeda denganku. Biarlah mimpiku tetap menjadi mimpi. Aku rela melepasnya demi tanggung jawabku.”

 

Ðhirga “Si Sulung”

 

Kauman, 1 Sya’ban 1436 H

 

- Selamat Malam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline