Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Romli

Pelajar Yang Tak Kunjung Pintar

Hidup, Kehendak, dan Derita

Diperbarui: 8 Maret 2021   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, kita akan merasakan senang karenanya. Rasa senang ini kemudian dimaknai sebagai kebahagiaan (happiness). Namun, tahukan Anda. Seorang filsuf barat bernama Arthur Schopenhauer menegasikan makna bahagia tersebut. Menurutnya, kebahagia yang dicapai dari terpenuhinya suatu kehendak (the will) bukanlah kebahagiaan hakiki (the true happiness), karena kehendak manusia tidak pernah berhenti. Misalnya, saat seseorang tidak memiliki ponsel, dia menginginkan sebuah ponsel; saat dia mendapatkan ponsel yang diinginkannya, dia akan bahagai sejenak (semu), dan saat menyadari ponselnya spek ngh (baca: kentang), dia menginginkan ponsel yang lebih tinggi speknya (lebih gahar); saat punya spesifikasi ponsel tersebut, dia menyadari belum punya laptop untuk kuliah, dia menginginkan laptop; begitu seterusnya. Itu lah ilustrasi alasan Schopenhauer menyatakan bahwa kebahagiaan yang didapat dari terpenuhinya keinginan adalah kebahagiaan semu (pseudo), tidak hakiki.

Menurut Schopenhauer, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dari luar yang membutuhkan rangsangan seperti terpenuhinya keinginan, kebahagiaan bukan sesuatu yang bersifat posotif; kebahagiaa adalah terhentinya penderitaan (pain), dan cikal dari penderitaan adalah kehendak tadi. Jadi, menurutnya kebahagiaan tidaklah ada, yang ada hanyalah berhentinya penderitaan.

Bagaimana kehendak bisa berhenti? Di sini lah masalahanya. Menurutnya, lagi, kehendak adalah sebuah dorongan buta yang tidak pernah mendapatkan kepuasan, ia selalu berusaha namun tidak pernah menghasilkan apa-apa, sia-sia. Dan karenanya, sekuat apa pun kita mengiakan kehendak, kita tidak pernah menemukan titik akhir dari kehendak itu. Ia akan selalu berontak dan menuntut meski semuanya menghasilkan jawaban yang sama, kesia-siaan. Oleh sebab itu, menurut Schopenhauer, kehidupan---yang notabene di dalamnya riuh dengan berbagai kehendak---adalah sebuah penderitaan. Dan, satu-satunya cara untuk menghentikan penderitaan adalah berhenti hidup.

Jika begitu, apakah bunuh diri dapat menghentikan penderitaan? Sayangnya, bunuh diri adalah sebuah perbuatan yang dihasilkan oleh kehendak, yakni kehendak untuk menghentikan penderitaan. Jadi, jika kita bunuh diri, maka kita telah sukses menuruti kehendak. Artinya, kita mati dalam keadaat tidak melepaskan penderitaan, namun dalam keadaan menderita (miserable). Nah, sampai sini pusing? Ya, hidup memang sebuah penderitaan, Kawan.

Jadi, kita harus bagaimana? Di sini kita kembali ke kehendak tadi. Karena kehendak---atau kita menyebutnya nafsu---adalah penderitaan atau penyakit, maka ia harus diobati dengan cara menahan atau meminimalisir gerak-gerik nafsu atau kehendak itu. Dalam konsep Islam, menahan diri dari dorongan kehendak disebut (imsk) yang kemudian dibahasakan menjadi puasa. Yang saya maksud bukan puasa makan dan minum sebagaimana ritual yang kita pahami, namun puasa dari melakukan hal-hal yang mengonfirmasi tuntutan kehendak (nafsu).

Jadi, untuk bahagia---meski tadi disebutkan sebenarnya tidak ada---kita harus belajar menahan satu demi satu kehendak-kehendak dalam diri kita. Saat kita sudah tidak banyak kehendak---gak banyak mau---di situ lah kita sudah menjadi manusia yang---boleh dikatakan---semi bahagia.

8.3.21




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline