Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Ini 5 Fatwa Keagamaan Ulama Perempuan Indonesia

Diperbarui: 27 November 2022   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Peserta KUPI II Membacakan Fatwa/Foto Dok. KUPI II

Ulama memiliki peran strategis dalam berbagai gerakan kemanusiaan di Indonesia, tak hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan keagamaan yang otoritatif. Menyebut ulama tak berarti hanya laki-laki. Perempuan pun---tercatat sejak zaman Nabi Muhammad SAW---telah ikut andil dalam bidang spiritual, intelektual dan sosial. Sebut, misalnya, Fathimah ra, Aisyah ra, Umm Salamah ra, Nusaibah ra, dan Hafsah ra, tampil ke publik sebagai perempuan yang memiliki otoritas keulamaan dalam kehidupan sosial umat Islam pada masa-masa awal.

Latar sejarah inilah yang melatari gerakan ulama perempuan Indonesia untuk bangkit dan berkiprah seperti para perempuan pendahulunya. Meneladani jejak terlibat dalam persoalan-persoalan publik yang mendera bangsa dan negara Indonesia.

Meski pun, sebagaimana dirilis dalam dokumen Kongres Ulama Perempuan (KUPI) II, kiprah kontekstual ini dengan adanya berbagai faktor sosial dan politik tampak timbul tenggelam dalam pentas sejarah peradaban Islam. Dalam momentum sejarah, awal-awal modernitas masuk ke bangsa-bangsa Muslim dunia, sekitar abad ke-19 menjelang abad ke-20, kiprah ulama perempuan tidak terlihat, dan bahan tidak diakui.

Kondisi ini, menurut KUPI memengaruhi bawah sadar umat Islam dunia sampai saat ini mengenai peran strategis ulama perempuan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan juga politik. Untuk membangkitkannya kembali memerlukan kerja-kerja peradaban ekstra, sehingga keberadaan ulama perempuan, otoritas keilmuannya bisa mendapatkan pengakuan kembali.

KUPI juga memastikan kiprah dan tradisi keulamaan perempuan memiliki berbagai akar argumentatif. Misalnya, dalam konteks norma-norma teologis dalam la-Qur'an menyebutkan konsep kesetaraan (musawah), dan dalam kehidupan keseharian terdapat contoh bagaimana Rasul memberikan penghormatan terhadap perempuan.

Sedangkan dalam kehidupan sosial kekinian, keulamaan mendapatkan banyak pengaruh dari konteks geopolitik budaya, dan proses asimilasi Islam dengan budaya-budaya lokal di berbagai tempat.

Sosbud. Seorang Peserta KUPI II dalam diskusi mengenai RUU PRT/Dok. KUPI II

Berbeda dengan konteks sosial budaya negara-negara lain, Indonesia memiliki karakteristik keislaman yang lebih terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di berbagai ruang publik, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Konteks sosial budaya inilah yang memungkinkan tampilnya para ulama perempuan Indonesia untuk bisa tampil dan meneguhkan otoritas mereka dalam kehidupan sosial keagamaan, dan mengapresiasi kiprah ulama perempuan dalam kerja-kerja keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

Pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Semarang dan Jepara pada tanggal 23-26 November 2022, menghasilkan semacam fatwa ulama perempuan mengenai berbagai situasi kehidupan perempuan di Indonesia.

Fatwa pertama mengenai peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Menurut KUPI II, hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara. Dengan begitu, tindakan melakukan peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama hukumnya haram bagi setiap lembaga Negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline