Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Kebahagiaan: dari Stoikisme dan Kahlil Gibran

Diperbarui: 23 Juli 2022   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Foto:  serrano1004 dari Pixabay 

"Minumlah dari cangkir ini dan kau akan memahami arti kebahagiaan dalam kehidupan, karena penderitaan yang berlimpah." 

Begitulah Kahlil Gibran dalam karyanya 'Cinta, Tawa dan Air Mata' memberikan pratanda mengenai manusia yang akan bisa memahami kebahagiaan dalam kehidupan di dunia yang fana. 

Sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke tanah merah yang sunyi, tanah merah yang hanya menawarkan kegelisahan karena dosa yang diperbuatnya, ia sudah dikenalkan dengan berbagai nama-nama, dan tentu juga rasa dalam hatinya.

Pemberian energi melalui cangkir dari Tuhan kepada ciptaan-Nya, menjadi mula seorang manusia akan bisa merasakan dua sisi yang berbeda dalam hampir seluruh aspeknya, sekaligus cita rasanya: kebahagian dan penderitaan. Sayangnya, bagi Kahlil Gibran, seseorang tidak akan bisa memahami arti kebahagiaan tanpa dirinya melalui penderitaan yang amat berlimpah. 

Penderitaan yang pada akhirnya memberikan pelajaran tentang situasi yang bergembira, sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.

Mengecap kebahagiaan dengan begitu berarti juga mengecap penderitaan. Tanpa itu, seseorang tidak akan pernah tahu apa yang disebut dengan bahagia, bahkan pada apa yang sudah ada dalam genggamannya. 

Tanpa merasakan penderitaan, seseorang hanya akan merasa dalam genggamannya adalah sebuah rutinitas, sesuatu yang amat membosankan, sesuatu yang terasa sebagai kesia-siaan.

Tentang kebahagiaan ini, Donald Robertson, menuliskan dalam karyanya Stoicism and the Art of Happiness, pada ribuan tahun yang lalu, Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM mendirikan Stoikisme, sebuah aliran atau mazhab Filsafat Yunani Kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani. Meski sebagaimana banyak aliran Filsfat Barat Kuno, merumuskan tujuan hidup manusia itu adalah kebahagiaan.

Tetapi, faktanya, menurut Donald Robertson, menunjukkan situasi yang berbeda. Stoikisme menunjukkan tujuan hidup manusia bukan kebahagaan, melainkan cinta dan pencapain kebijaksanaan hidup. 

Kebahagiaan hanyalah salah satu aspek dari hidup manusia, seumpama hasrat, perasaan, dan moral sebagai praktik dari kebijaksanaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline