Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Kliwon, Episode Pesanan Ketupat

Diperbarui: 13 Juni 2018   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Foto: www.halopantura.com)

Hari ini, keluarga Kliwon tampak sibuk sejak pagi. Para tetangga memesan slongsongan kupat. Menurut legi pesanan sudah mencapai 1000 buah slongsongan kupat. Untungnya, semua anggota keluarga Kliwon bisa menganyam janur menjadi kupat, sehingga tak sampai pukul 12.00 WIB, semua pesanan sudah selesai dibuat.

Wage paling tampak kelelahan. Apalagi semalam makan sahurnya hanya dengan sedikit nasi, karena sebagian nasi dari berkat yang dikirim tetangga dan disiapkan untuk sahur ternyata sudah basi. Mungkin memananknya terlalu awal, sehingga tak tahan sampai waktu sahur. Selesai menganyam janur, Wage rebahan, tangannya mengusap-usap perut. Legi menghiburnya, nanti untuk buka akan disiapkan kolak pisang dan kolang-kaling, ayam goreng, sayur cecek dan sop brokoli.

"Wow, pasti enak nanti bukanya, Mbok," kata Wage terdengar riang. Pon tampak tersenyum melihat keriangan adiknya. Ia mendekati, dan berbisik, "segera simbok belanja ke pasar, nanti bahan-bahannya segera habis, lo."

Legi mengangguk-angguk. Ia segera berpamitan pergi ke pasar dengan membawa uang hasil pesanan slongsongan ketupat. Kliwon mengajak anak-anak ke Masjid untuk jamaah salat Dzuhur. Lumayan sambil menyegarkan badan. "Gih, ambil wudu, Wage," kata Kliwon.

Pekerjaan hari itu memang sangat melelahkan. Bayangkan setelah salat, Kliwon dan anak-anak membersihkan halaman, mencukur rumput-rumput di halaman agar rapih, memotong dahan-dahan jambu batu, dan meratakan pagar dari pohon teh-tehan. Kliwon mencukur pohon teh-tehan itu dengan sangat rapi, dan juga membentuk beragam hewan dari daun-daun yang ia potong di sana sini. Sehingga tanmpaklah di pagar itu, ada kucing, anjing, ayam, kuda, dan juga kera.

Dinding rumah dari papan itu, ditempeli dengan kertas bekas semen menggunakan lem dari tepung singkong. Sebelum ditempelkan dinding papan itu dibersihlan terlebih dahulu sehingga lem bisa melakat dengan kuat. Lem dari tepung tapioka sudah sipa di ember plastik berukuran sedang. Dengan menggunakan kwas, Pon dan Wage meratakan lem itu di kertas semen. Setelah rata, Kliwon akan menempelkan dengan hati-hati ke permukaan dinding papan. Setelah kering, kertas-kertas itu akan dicet dengan labur (dari kapur) dan diberi warna teres berwarna biru telor bebek. Sebelum asar, pekerjaan itu sudah selesai. Hasilnya luar biasa, dinding dari kayu putih itu kini sudah halus seperti layaknya tembok bata yang sudah diaci dan dicat.

Sepulang salat asar berjamaah, Pon dan Wage berlarian ke dapur. Hidung mereka mengaromai ayam garong olahan simboknya. Dan tanpa mengenail lelah, mereka membantu Simbok memasak. Ap[a saja yang bisa dilakukan, mengupas bawang merah, bawang putih atau memotong cabe. Wage tampak sedang memotong brokoli dan mencucinya menggunakan baskom kecil. Pon sedang mencuci piring dan mangkok yang kotor setelah untuk masak.

"Ayo, sudah sore kita ke makam dulu," kata Kliwon.

Pon dan Wage bergegas keluar rumah, menyambar sarung dan peci, lalu jalan cepat menyusul Romonya. Sebenarnya mereka tidak memiliki saudara yang di makamkan di Kampung Bluwangan sebab mereka juga pendatang di kampung itu. Mereka menziarahi makam Syeh Samsuri, yang dikenal sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, yang di makamkan di dusun tempat Kliwon dan keluarganya tinggal.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline