Si Pon berpamitan akan ikut Sahur on The Road bersama dengan remaja kampung sebelah. Tepat pukul 02.00, ia berangkat dengan restu dari Kliwon, sang Romo. Ia membawa kelengkapan sahur yang sudah disediakan Simbok sejak habis tarawih.
Kliwon berdoa terus menerus untuk keselamatan anaknya. Ia sendiri tahu apa artinya Sahur on The Road, yang ia bayangkan hanya sekadar keliling kampung untuk membangunkan sahur warga kampung.
"Jiwa sosial anakmu luar biasa," kata Kliwon, dan Legi mengangguk tanda setuju atas penilaian suaminya terhadap anak mbarep mereka. Legi memahami, suaminya memang laki-laki yang ringan tangan, senang membantu dan tanpa pamrih.
Prinsipnya persis adagium lama, berilah apa yang kau cintai dengan tangan kanan, seakan tangan kirimu tak mengetahui. Bahkan karena keikhlasannya itu, suaminya sering menjadi korban penipuan, dan tidak jarang dimanfaatkan orang.
"Kita doakan dia sadar dan mendapat petunjuk Gusti Alloh," kata Legi menirukan kata-kata suaminya ketika menjadi korban penipuan.
***
Belum lagi selesai makan sahur, Kliwon tergopoh-gopoh diikuti istirnya dan anak ragilnya. Mereka menuju ke Puskesmas di kota Kecamatan. Dikabarkan Pon menjadi korban bentrok dua grup Sahur on The Road. Sampai di Puskesmas, Kliwon mendapati Pon mengalami luka sobek di lengan kanannya, tapi sudah dijahit dan diperban. Darahnya juga sudah tak mengalir lagi.
"Romo, jangan marah, ya," kata Pon sambil tetap berbaring di tempat tidur Puskesmas.
"Ini pembelajaran, ini pengalaman baik untuk hidupmu. Bapak baru tahu juga, apa tadi namanya?"
"Sahur on The Road, Romo," kata Wage. Legi tampak sedang mengusap-usap lengan
Kliwon juga mengatakan, ia bukan anti terhadap Sahur on The Road, karena banyak kelompok yang melakukannya memang sungguh-sungguh untuk kebersamaan dan bahkan menjadi syiar Islam seperti kata para ustadz yang benar itu.
"Benar, Kang," kata Dzul yang ternyata ikut melihat Pon.