Seperti biasanya, menjelang Maghrib Kliwon dan keluarganya sudah duduk di meja makan. Karena tak memiliki televisi, mereka hanya mengandalkan tanda Maghrib dari suara adzan di Musala kampung. Sambil menunggu adzan itu, Kliwon memberikan semacam pengajian kepada keluarganya. Qu anfusakum wa ahlikum naro, menurut Kliwon.
"Ada beberapa hal yang nggak benar terkait bulan puasa," katanya.
Legi, Wage dan Pon tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Kedua tangan Wage di atas meja, persis seperti belajar di kelas. Pon menyangga dagunya dengan mata menatap lurus ke arah wajahnya Romonya. Sementara Legi, meski tangannya tampak menyiapkan piring tetapi pandangannya tetap ke arah suaminya.
"Dulu di waktu kecil, orang-orang bilang, menangis itu bisa membatalkan puasa. Padahal nggak benar sama sekali."
"Alhamdulillah," kata Pon.
"Kenapa?"
"Romo, waktu kucingku tertabrak motor kan saya menangis. Jadi nggak batal ya?"
"Batal, kalau kau sengaja memperbanyak air matamu lalu membiarkan masuk ke dalam mulutmu melalui sudut bibir," kata kliwon disusul dengan tawa terbahak keluarga kecil yang hidupnya pasa-pasan secara ekonomi.
"Kalau kumur waktu wudu, Romo?"
"Pertanyaan bagus, Wage. Berkumur saat wudu juga nggak membatalkan puasa. Tetapi kalau matahari sudah condong ke barat sebaiknya wudu tak perlu berkumur, sebab bisa menjadi makruh. Yang sunnah bisa merusak yang wajib."
"Berkumur yang membatalkan wudu itu, kalau kumur tiga kali yang dikeluarkan dua kali, yang satu kali terus masuk ke dalam perutmu," kata Kliwon.