Wage agak ogah-ogahan, ketika Simboknya mengeluarkan baju dari bungkusan koran dan menunjukkan baju koko lengkap dengan celana dan peci yang warnanya serasi, putih dipadu dengan tepian warna hijau pupus. Warna putihnya memang sudah sedikit pudar, dan ada noktah hitam di lengan kanan, tidak terlalu kentara karena sebesar biji jambu batu.
"Nggak mau baju bekas," kata Wage.
"Ini masih bagus," kata Legi.
"Tapi...."
"Wage, kamu nggak boleh begitu."
Air mata Wage mengalir begitu saja, meski tak terdengar suara tangisnya. Ia semalam baru saja cerita sama teman-temannya kalau mau dibelikan baju koko untuk salat tarawih. Wage sering dirasani kalau salat, mengaji di sore hari, tidak pernah menggunakan baju koko, dan ia meminta kepada Simboknya untuk dibelikan baju koko.
Wage sudah membayangkan, ia akan bercerita kepada teman-temannya, bagaiaman ia memilih baju di pasar Kecamatan, mencoba berkali-kali untuk mencari baju dengan ukuran yang cocok. Ia akan bercermin dan melihat betapa tampak 'alimnya dia menggunakan baju koko dan peci baru.
Kenyataan berubah. Tidak saja Wage tak mendapatkan baju baru, tetapi ia juga tak bisa membanggakan proses memilih dan membeli bajunya. Tetapi ia tak ingin membuat Simboknya sedih, makanya Wage menahan diri untuk tidak menangis, suara tangis memang mampu ditahannya, tetapi air mata tak mampu disembunyikan. Ia mengalir begitu saja.
Legi tentu saja ingin membelikan baju koko baru. Tetapi dana tak tersedia untuk itu. Saat dia mencuci dan mensetrika baju di rumah Pak Lurah, ia mendapatkan baju kok yang masih baru, tetapi sudah tidak dipakai lagi. Ketika ia meminta baju itu, Bu Lurah dengan senang hati memberikannya.
"Ya, sudah kalau nggak mau, saya kembalikan ke rumah Pak Lurah."
"Nggak, Mbok. Saya mau memakainya, kok," kata Wage.