Pemberlakuan Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dipersoalkan para pegiat penanggulangan HIV dan AIDS. Pasalnya, ditengarai penempatan KPAN di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan akan menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS (Kompas, 23/2/2017).
Wacana penempatan KPAN di bawah Kementerian Kesehatan sesungguhnya tak benar keseluruhannya. Sebab perubahan yang dipersoalkan itu hanya terjadi pada Pasal 4, ayat 2, yang mengatur tentang Sekretaris KPAN, yang sebelumnya diangkat dari masyarakat diubah secara otomatis dijabat oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan. Sementara keanggotaan secara keseluruhan tidak ada perubahan kecuali anggota pada point w, sebelumnya Ketua Organisasi ODHA Nasional diubah menjadi Ketua Forum Lembaga Swadaya Masyarakat HIV AIDS.
Dengan demikian, keraguan terhadap fungsi koordinasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang tak hanya berdimensi kesehatan itu, tak cukup beralasan tetapi berkemungkinan adanya. Sebab Ketua KPAN dipegang oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang sebelumnya dijabat oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Perubahan ini semata-mata akibat terjadinya perubahan sistem organisasi kementerian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara.
Persoalan Perspektif
Lantas apa yang lebih mengkhawatirkan dengan Perpres 124 Tahun 2016? Secara teknis, misalnya, perencanaan strategis, pengelolaan sistem data, penyediaan obat, dan tenaga lapangan tidak akan menghadapi kendala yang signifikan. Kementerian Kesehatan akan mampu melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional.
Setidaknya ada tiga persoalan serius yang mungkin akan bisa terjadi dan memengaruhi agenda penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional. Pertama, persoalan perspektif yang akan melahirkan stigma dan diskriminasi berbasis isu-isu moralitas terhadap mereka yang terinfeksi HIV dan berstatus AIDS di lingkungan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Cara pandang ini berkaitan dengan keberadaan kelompok kunci (key population) yang selama ini dianggap sebagai kelompok berisiko tinggi menularkan atau tertular HIV, seperti, perempuan pekerja seks, waria, laki-laki seks dengan laki-laki, dan pengguna jarum suntik. Akibatnya, pemberian informasi dan layanan menjadi dilakukan hanya karena tugas belaka, sebab dalam pikiran masih terjadi kontradiksi cara pandang terhadap kelompok kunci ini.
Kedua, sistem koordinasi sangat mungkin akan menjadi melemah. Ketika penjabat Sekretaris KPAN/KPAD berasal dari orang yang independen, fungsi-fungsi koordinasi bisa berjalan dengan baik sebab posisi mereka secara struktural hampir setara dengan para anggota KPAN/KPAD. Berbeda sama sekali manakala penjabat Sekretaris itu berada dalam posisi struktur yang lebih rendah seperti Dirjen dan Kepala Bidang. Sekretaris terakit dengan sistem kekuasaan dalam Kementerian/Lintas Kementerian/Dinas Kesehatan yang tentu saja tak bisa dihindarkan pengaruhnya.
Situasi ini akan sangat memengaruhi agenda-agenda strategis dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Misalnya, upaya-upaya melakukan harmonisasi kebijakan mengenai HIV dan AIDS, tentu saja akan terhenti, wacana-wacana tanding tidak akan mungkin dilakukan Sekretaris KPAN/KPAD sebagai orang yang berada di dalam kebijakan itu sendiri. Artinya, tindakan-tindakan mengkritisi berbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap mereka yang terinfeksi HIV, berstatus AIDS dan kelompok kunci sangat mungkin tak akan bisa ditemukan lagi.
Ketiga, semakin berjaraknya kelompok kunci dengan KPAN/KPAD. Memang selama KPAN/KPAD memang tidak secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan langsung dengan kelompok kunci. Tetapi, setidak-tidaknya, orang-orang yang berada dalam lingkungan KPAN/KPAD, termasuk Sekretarisnya masih lebih memiliki kedekatan dengan pola kerjanya, dibandingkan dengan mereka yang berada dalam status sebagai pegawai negeri sipil di sebuah instansi pemerintah.
Situasi ini juga sangat mungkin akan memengaruhi relasi dengan organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) yang selama ini bekerja dalam isu HIV dan AIDS. Pasalnya, bagi sebagian ORNOP melakukan kerja-kerja penanggulangan HIV dan AIDS bukan semata-mata sedang mengurusi virusnya, melainkan juga terkait dengan hak-hak warga negara terkait dengan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.