Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Politisi Pemilik Media Massa

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1337496240900060816

[caption id="attachment_189295" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi/Kompasiana (shutterstock)"][/caption] Diskusi mengenai para politisi yang memiliki media mulai menghangat untuk beberapa waktu terakhir ini. Tentu saja terkait dengan proses-proses pemilihan presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2014. Sumbu pemicunya, kekhawatiran terjadinya pemanfaatan media untuk menciptakan citra positif bagi politisi pemilik media itu sendiri. Selain  itu, disinyalir memungkinkan terjadinya pembohongan publik, karena informasi yang disajikan bisa bersifat subyektif, dan bahkan kemungkinan sangat tinggi akan terjadi manipulasi data. Lihat saja, misalnya, yang disebutkan Wina Armada, anggota Dewan Pers, karena media dimiliki politisi, ketika memberitakan kampanye partai miliknya, yang hadir 500 orang, bisa saja ditulis menjadi 5.000 orang. Bahkan Tamrin Amal Tamagola, Sosilog UI, menengarai dengan kepemilikan media oleh politisi, pada pemilihan presiden tahun 2014, bukan lagi calon presiden yang kuat, melainkan calon presiden yang dilihat karena pencitraan media. Jika ini yang terjadi, kode etik jurnalistik sebagai pijakan dasar dalam penyiaran informasi di media massa tentu saja akan terlanggar dengan sendirinya. Pada ranah yang lebih ideologis, jurnalisme tidak lagi bisa diharapkan untuk mengabdi pada kebenaran informasi, akurasi data dan kepentingan layanan informasi bagi publik, sehingga masyarakat bisa mengambil keputusan politis. Melainkan sudah berganti menjadi lembaran-lembaran pamflet yang sama sekali tidak berguna, dan pada titik tertentu menjadi sampah informasi. Dampaknya tentu saja sudah bisa ditebak, presiden yang terpilih dan akan memimpin negeri ini, bukanlah pribadi yang memang memiliki jiwa kepemimpinan kuat, bukan negarawan sejati. Melainkan figur yang besar karena diciptakan oleh media massa milik politisi. Ia hanya besar dan hebat dalam halaman media, tetapi nol besar dalam membawa negara ini untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Situasi yang tentu saja sangat tidak diinginkan oleh seluruh warga negara di negeri ini. Maka sungguh penting untuk menjadi perhatian bersama, dan wacana itu pantaslah jika mulai digulirkan ke publik sejak dini.  Akibat yang lebih parah, pada akhirnya, tujuan utama jurnalisme, seperti yang disebutkan Deborah Potter dalam Handbook of Journalism, untuk menyediakan informasi akurat dan dapat dipercaya yang dibutuhkan warga negara sehingga bisa menjalankan fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang bebas dan demokratis akan menjadi harapan belaka. Terlebih untuk menjalankan fungsi tambahan jurnalisme sebagai watchdog berbagai kebijakan pemegang kekuasaaan, tentu bisa dikatakan tak akan mampu dilakukan media yang dimiliki kalangan politisi. Apalagi jika pemilik media pada akhirnya benar-benar memegang kekuasaan, peran pengawasan media massa terhadap kekuasaan melalui informasi yang disajikannya, bisa dipastikan akan lumpuh sama sekali. Kedewasaan Pertanyaan kritisnya, apakah benar-benar segawat itukah, manakala sebuah media dimiliki oleh politisi? Terdapat dua jawaban yang saling bertentangan, sesuai dengan pandangan yang digunakan terkait dengan masyarakat itu sendiri; memandang masyarakat dalam kaca mata negatif dan memandangnya dari kaca mata positif. Jika jawaban yang diajukan berdasarkan pada pengabaian terhadap fakta empiris kedewasaan masyarakat berkaitan dengan media massa, bisa jadi kekhawatiran itu akan menjadi benar adanya. Dan bisa jadi harus ditumbuhkan secara terus menerus, sehingga bisa menjadi kesadaran masyarakat kebanyakan. Kekhawatiran ini berdasarkan pada argumentasi, dalam masyarakat yang belum dewasa, mereka akan mengunyah begitu saja informasi yang disajikan media massa. Bahkan pada tahap tertentu sangat menggusarkan, karena informasi media bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dianut sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan-keputusan, terutama keputusan politik. Padahal informasi yang tersajikan sudah penuh dan bahkan sarat dengan kepentingan politis pemiliknya. Tetapi jika melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat-saat terakhir ini, kekhawatiran berlebihan terhadap media yang dimiliki politisi tampaknya menjadi tidak beralasan. Pertama, masyarakat sudah memasuki kesadaran yang lebih maju, kedewasaan yang semakin matang berkaitan dengan informasi yang disajikan media massa. Mereka sudah memiliki penyaringan yang lebih baik, sehingga mampu membedakan mana informasi yang tak layak dipercaya karena berbunga-bunga dan penuh pujian, dan mana informasi yang memang bisa dipercaya karena terasakan obyektivitasnya. Kedua, sumber informasi masyarakat sudah berlimpah tersedia, termasuk media-media yang tidak dimiliki oleh para politisi. Sehingga masyarakat dengan sendirinya, mampu melakukan komparasi-komparasi obyektif dalam menerima dan mengonsumsi informasi yang disajikan dalam media massa. Ketiga, berkembangnya tradisi jurnalis warga di Indonesia juga tidak bisa diabaikan kekuatannya sebagai penyeimbang media massa yang dikuasai politisi dan para pemilik modal. Radio Komunitas, misalnya, jauh lebih dipercaya informasi yang disajikannya, ketimbang media-media komersial lainnya. Keempat, para jurnalis idealis tentu saja tidak akan tinggal diam. Mereka masih bisa dipercaya bekerja untuk mengabdi pada kebenara informasi yang disajikannya, bukan untuk kepentingan ekonomi semata-mata. Karenanya independensi bagi para jurnalis tentu tetap akan dikedepankan, dan ketika media tempat bekerjanya sudah benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan politik para pemiliknya, mereka sudah dipastikan akan meninggalkan media tempatnya bekerja. Media yang sudah tak bisa berfungsi menjalankan mandat utamanya untuk kepentingan publik. Literasi Media Melihat pada keempat fakta empiris ini, tampaknya tak perlu digusarkan benar adanya kepemilikan media massa oleh para politisi. Kekhawatiran mengenai pemanfaatan media sebagai alat pencitraan politisi pemiliknya, pada akhirnya hanya akan menjadi konsumsi elit, hanya merupakan wacana intelektual, karena masyarakat tak akan terkena pengaruhnya. Tetapi, jika tetap saja khawatir, yang bisa dilakukan adalah melakukan penguatan masyarakat dalam melakukan pembacaan terhadap informasi yang disajikan media massa. Gerakan literasi media dalam dimensi politik perlu dikembangkan secara terus meneruskan, sehingga akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan penyaringan informasi. Belajar dari gerakan literasi media yang dilakukan Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, misalnya, mereka telah berhasil melakukan pendidikan literasi media di kalangan perempuan ibu rumah tangga di Yogyakarta dalam melakukan penyaringan program televisi. Perempuan-perempuan ini tidak saja mampu melakukan memilah tayangan televisi untuk diri mereka sendiri, tetapi juga mendampingi anak-anak mereka ketika mengonsumsi tayangan tak mendidik yang disajikan televisi. Model ini tentu saja bisa dikembangkan untuk melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat dalam mengonsumsi informasi politik yang disajikan media massa. Sehingga gerakan literasi media, juga sekaligus sebagai pendidikan politik masyarakat  yang selama ini memang terabaikan oleh hampir semua partai politik di Indonesia. Sebagaimana dipahami bersama, jika partai politik melakukan pendidikan politik, lebih pada pendidikan kader, dan itu pun untuk kepentingan mobilisasi suara, bukan untuk menjadi warga bangsa yang kuat, sehingga mampu melakukan kontrol atas kekuasaan yang sedang berjalan.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline