Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Lahir di Luar Nikah, Kenapa Harus Sedih?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memiliki teman chatting, seorang perempuan muda, bermasa depan cerah, bekerja di perusahaan bonafid, dan tentu saja bergaji tinggi. Tetapi ia merasa selalu masgul, hatinya gelisah dan tidak pernah tenang. Suasana psikologis ini kerap kali menjadikan semangat kerjanya menurun.

Pasalnya, pada saat teman saya itu bersih-bersih gudang, ia menemukan undangan pernikahan orang tuanya. Celakanya, tanggal kelahirannya ternyata lebih dahulu ketimbang tanggal dalam undangan perkawinan itu. Lantas..., ia membuat kesimpulan sepihak, dirinya adalah anak yang lahir di luar perkawinan. Anak haram, anak jadah, status yang menurutnya sangat memalukan dan merasakan dirinya selalu kotor, ibadah yang dilakukannya seakan menjadi sia-sia.

Saya katakan tak perlu menjadi hidup tertekan begitu, walaupun terlahir tidak dalam ikatan perkawinan. Apalagi sampai merasa ibadah kepada Tuhan menjadi sia-sia. Toh, setiap bayi terlahirkan sudah pasti merupakan bagian dari kehendakNya. Tak satu pun yang ada di dunia ini berada di luar kehendak dan kekuasaan sang Pencipta.

Mendengar pandanganku, ia justru menyampaikan peribahasa lama, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Memang tak ada yang salah dengan peribahasa itu. Tetapi, kata saya, peribahasa itu diciptakan berdasarkan wisdom orang-orang yang hidup di pesisir atau di dataran rendah. Sebab bagi orang yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi, pasti lain persoalannya. Tak ada buah yang jatuh dekat dengan pohonnya.

Teman chattingku tersenyum, emoticon tertawa terbahak-bahak muncul di layar tabletku. Merasa komunikasi sudah semakin baik, sudah timbul rasa percaya, saya lanjutkan diskusinya. Ada kisah di jaman Muhammad, seorang pekerja seks ternyata dijanjikan kelak akan masuk surga. Para sahabat Muhammad memprotes tidak terima. Lalu ingin segera tahu perbuatan apa yang menjadikannya masuk surga. Ternyata pekerja seks itu masuk surga karena satu perbuatan yang sangat mulia, memberikan minuman kepada anjing kehausan,  yang ia ambil dari sumur dengan sepatunya.

"Lalu...." Tulisnya disertai dengan emoticon geleng-geleng kepala, menunjukkan ketidakmengertiannya, kaitannya dengan dirinya, perempuan muda yang dilahirkan di luar perkawinan. Saya katakan lagi, seseorang melakukan kebaikan, melaksanakan ibadah, bukanlah untuk Tuhan, melainkan untuk diriya sendiri. Tuhan tak pernah melihat asal-usul seseorang, Ia memberikan rahmatNya, dengan melihat perbuatannya berkenan atau tidak dalam kekuasaanNya.

Karenanya, tak perlu disedihkan, tak perlu menjadikan diri ini seolah-olah tak bermakna. Sebab tak ada urusannya, apakah dilahirkan dalam ikatan perkawinan atau di luar perkawinan. Itu perkaranya orang dewasa yang melakukan hubungan seks sebelum mereka menikah, dan karena tidak menggunakan kondom atau alat kontrasepsi lainnya, menjadilah hamil perempuannya.

Tetapi bersedihlah, ketika hendak meraih ridloNya, justru melakukan berbagai cara, tindakan brutal, perusakan, kekerasan dan bahkan juga pembunuhan. Meskipun mungkin mereka dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi tak ada gunanya seluruh tindakannya. Sebab hanya diri mereka yang menganggap itu jihad dan perbuatan mulia. Di mata Tuhan, bisa lain lagi perkaranya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline