Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Masalah Remaja di Penghujung Tahun

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah soal eksistensi manusia yang tidak diakui keberadaannya oleh negara, tidak dihormati hak-haknya, "you are all not respectfully," kata Ninuk Widyantoro. Yang satu ini adalah aktivis kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia, yang tak lagi diragukan komitmen dan gagasannya dalam pemenuhan hak seksual. Inilah, kategori sosial yang tetap menghadapi berbagai persoalan, "remaja." Saya sedikit menggerutu, memangnya kalau tidak diakui apa masalahnya? Apakah tanpa pengakuan itu, remaja tidak bisa hidup? Teman remaja yang duduk di sebelahku, lebih dari sekedar menggerutu. Dengan  sedikit nada tinggi, pandangan yang tidak bersahabat, dia mengucap ketus, "bukan itu soalnya, bukan begitu cara memandangnya." Akhh..., kali ini, saya sebagai orang yang merasa tua, benar-benar seperti munyuk terkena tulup--sebuah senjata yang menggunakannya dengan cara ditiup, dan sejenis panah kecil akan meluncur deras, yang mematikan bukan karena perlukaannya, melainkan ujung yang tajam itu biasanya sudah ditorehi racun. Saya merasa dipermalukan, merasa dipecundangi oleh anak yang dianggap tidak dilindungi negara itu. Tetapi..., saya mencoba menanyakan kepada suara hatiku, "apakah pantas saya marah, saya malu?" Cukup lama saya menunggu jawaban suara hatiku, dan tak juga hati itu bersuara. Lelah menunggu, sementara rasa terhina, rasa dipermalukan terus mengguncang-guncang pikiranku, saya mengambil keputusan sendiri tanpa meminta nasehat suara hati. "Engku saya abaikan dulu untuk kali ini, suara hati..." Saya menenangkan pemikiran, dan mulai mengembangkan gagasan-gagasan, ide-ide tentang apa saja yang saya ketahui mengenai makhluk yang tak terlindungi ini. Remaja, yang salah satunya duduk di samping kananku, yang setengah jam lalu membuat telingaku merah, dan jenggot terasa terbakar tak tertahankan panasnya. Muncullah, umpama layar televisi tiga dimensi mengenai situasi remaja yang tak terlindungi. Mereka ternyata dihadapkan pada situasi sangat serius tentang eksistensinya. Sebut saja, misalnya, mereka berada dalam situasi sangat rentan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Setiap kali remaja mengalaminya, hampir seluruh kesalahan tertimpa padanya, 'tidak beriman', 'tidak mampu menjaga diri', 'perempuan binak', dan label-label yang semuanya tentu tidak mengenakkan hati. Remaja ternyata, dalam TV tiga dimensi itu, menghadapi resiko kekerasan dari orang dewasa. Kekerasan fisik--pemukulan, kekerasan psikis--penghardikan, penagabaian atas ide-ide mereka, menjadi obyek program, kekerasan seksual--perkosaan, pelecehan, perdagangan seks. Itulah, dua hal yang pada akhirnya nanti akan mencabik masa depan remaja. KTD tidak saja mengakibatkan remaja masuk dalam kutukan moral berkepanjangan, tetapi juga bisa terusir dari lembaga pendidikan, tangga proses yang katanya akan mengantarkan remaja ke masa depan yang lebih baik. Dalam situasi yang tidak akan memecahkan masalahnya, remaja akhirnya memilih jakan keluarnya sendiri, melakukan aborsi tidak aman--banyak yang dialukan, menggunakan jasa dukun, dengan menggunakan batang singkong yang dimasukkan ke rahim melalui vagina, seperti yang terjadi di Papua. Kematin akan menanti. Kematian yang akan dibekali dengan tudingan tidak bermoral. "Saya terdiam, lidahku kelu tak mampu menyusun kalimat lanjutan," bisikku. Kekerasan seksual, menghadapkan remaja pada ancaman masa depan, kehancuran binar-binar tentang mimpi-mimpi indahnya. Remaja juga akan menghadapi ancaman tertular infeksi menular seksual, dan puncaknya terinfeksi HIV yang akan mengantarkan pada kematian, jika tak mendapatkan perawatan yang benar. Saya semakin menunduk dalam-dalam. Tetapi..., ada rasa dan harapan yang sedikit menyembul, saat remaja yang duduk di sampingku berbicara lantang, mengenai hak-hak mereka, bagaimana cara memenuhinya dan menuntut agar mereka bisa dilibatkan dalam proses pembangunan, perencanaan program-program. Saya berbisik..., "itulah yang saya maksudkan, emang apa masalahnya ketika tidak diakui, ketika tidak dilindungi." "Kita memang tak bisa menanti, kita harus melakukan yang kita harus kerjakan," kata Ninuk Widyantoro dengan semangat dan membagikanb cahaya berpendar dalam matanya, meluncur tajam ke sudut mataku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline