Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Kebun Koruptor, Ketika Elit Kehilangan Akal

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Mahfud MD mengenai kebun koruptor, tempat hukuman bagi para pelaku korupsi, dikembangkan sama persisnya dengan kebun binatang. Setiap orang akan bisa menonton, dan anak-anak sekolah bisa dapat belajar dari kebun koruptor. Sambutan positif, setidaknya ditunjukkan Bambang W, sang kandidat kuat calon pimpinan KPK, dengan menyetujuigagasan itu. Saya tidak tahu, apakah latar gagasan Mahfud MD dan persetujuan Bambang W sama persisnya?

Kalau Mahfud MD sendiri mengatakan gagasan ini merupakan ide 'gila', saya mengatakan gagasan ini tidak gila sama sekali, melainkan sedang menunjukkan bagaimana para elit hukum kita sedang kehilangan akal dalam menghadapi fenomena korupsi yang terus menerus tak pernah berhenti. Jadi idenya tidak gila, tetapi akal sehat yang sedang absen di kepala.

Gagasan Mahfud MD, pada prinsipnya mendasarkan diri pada ketidakpercayaan terhadap hukum kurungan itu bisa memberikan efek jera. Pelaku koruptor yang dimasukkan dalam penjara, sama sekali tidak terefek dengan kurungannya itu. Semua berjalan biasa-biasa saja, dan mungkin iseng-iseng ada waktu istirahat untuk menghitung kembali kekayaan yang tidak terendus KPK.

Apalagi, di penjara, sebagai orang-orang yang memiliki status terhormat, tidak akan mendapatkan perlakuan yang buruk dari para penjaga penjara. Meski tidak ada laporan video amatir mengenai penjara mewah yang direkam Nazaruddin, kebijaksanaan pemikiran awam, pasti menangkapnya dengan pandangan hati. Tak mungkinlah seorang anggota DPR yang ditahan karena korupsi, diperlakukan sama dengan mereka yang mencuri ayam tetapi nasibnya sial, sehingga dipenjara.

Saya berpikiran, ketidakpercayaan hukum formal sebagaimana diatur dalam UU Anti Korupsi, KUHP dan lainnya, kekecewaan mendalam mengenai kinerja KPK yang hanya mampu mengungkap smallfish, dan tak pernah menjamah bigfish, meskipun orang berharap-harap cemas begitu beberapa orang mulai tertangkap terlibat korupsi untuk kepentingan partai.

Lantas, elit politik lari, ingin kembali ke hukum sosial, yang mungkin diperkirakan akan lebih efektif. Kalau di penjara orang tidak bisa dipermalukan di hadapan orang banyak, kalau di kebun koruptor, mereka dipermalukan secara sosial.

Saya teringat cerita seorang peneliti di Papua, saat melakukan riset di pedalaman wilayah Papua, ia melihat seorang laki-laki berada dalam kurungan di tanah terbuka di kampung itu. Sang peneliti penasaran, dan ia bertanya kepada pemandunya, "Siapa laki-laki itu?" Ternyata, laki-laki yang berada dalam kurungan besar itu, pelaku perselingkuhan di kampung itu. Lebih celaka lagi, perempuan yang diselingkuhinya itu, istri kepala suku.

Saya menelan sedikit ludah, apakah Mahfud MD, dan sietujui Bambang, akan memberlakukan model hukuman seperti ini? Berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk membuat UU, kapan selesainya, ketika para pembuat UU adalah orang-orang yang berpotensi terkena dampak UU?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline