Lihat ke Halaman Asli

M Lendri Julian

Sedang ber-fiksi. Hubungi aku via do'a

Si Pengarang Muda Itu Telah Mati Muda

Diperbarui: 4 September 2019   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

flickr.com

Seperti kata Sapardi Djoko Damono "Yang fana adalah waktu. Kita abadi." Sajak itu terngiang hingga menusuk relung batin. Waktu memang terus berputar dan berputar. Namun manusia, bisa tetap abadi walau nyawanya telah tiada.

Si pengarang muda itu ingin hidup abadi. Dia isi hari-harinya dengan karangan-karangan hasil imajinasinya. Dia publikasikan. Berbagai macam media telah dia coba. Namun yang dia dapatkan hanyalah penolakan. Karyanya tak pernah dimuat.

Setiap bulan dia ciptakan dua buah karya untuk dua media. Setiap bulan! Setiap bulan juga dia mendapati bahwa karya terbaiknya itu tak kunjung dimuat. "Kapitalis memang brengsek! Mereka menghadang masyarakat yang ingin berkarya!" Gumamnya.

Waktu menakdirkan kami untuk bertemu. Aku, si pemuda pembisnis dan dia, si pengarang muda. Aku menyukai perdagangan. Bagiku satu-satunya macam pekerjaan yang baik adalah berdagang. Dengan berdagang, Aku yang lulusan SMA akan menjadi bos bagi mereka yang bergelar sarjana. Ajaib bukan?

"Sudahlah, daripada kamu menulis terus dan tidak berpenghasilan, lebih baik bantu Aku untuk berdagang." Kataku kepada si pengarang muda itu.
"Kau seorang kapitalis! Mana ngerti tentang keindahan menulis. Sudah, biarkan Aku berjalan dijalanku sendiri." Sahutnya.
"Bukan begitu. Kau kan sudah sarjana, belum bekerja, apa tidak malu sama keluarga? Sama masyarakat?"
"Malu? Yang seharusnya malu itu mereka! Karena telah menghalangi orang bercita-cita."

Si pengarang muda itu tetap kokoh akan ambisinya untuk menulis. Dia teruskan untuk melahirkan karya-karya terbaik dengan tangannya. Tidak lupa dia kirimkan kepada beberapa media setiap bulan. Namun penolakan tak kunjung henti.

Waktu terus berjalan. Si pengarang muda itu tetap menulis tanpa mendapatkan penghasilan. Untung kedua orang tuanya masih hidup. Dia masih bisa mendapatkan uang walaupun harus dengan tangan dibawah.

Melihat keadaannya itu, Aku terus bujuk dia untuk ikut berdagang. Aku tawari dia modal yang cukup untuknya membuka usaha. Namun seringkali juga Aku mendapatkan penolakan. Hasilnya selalu nihil jika kuajak dia untuk berdagang.

"Begini. Bukannya Aku tak suka dengan tawaranmu. Aku tahu niatmu baik. Tapi, hati ini belum mau jika harus berdagang. Aku ingin terus berkarya." Kata si pengarang muda ketika kami sedang bersama disuatu tempat pada malam yang gulita.
"Kau tahu, ada sajak menarik dari Chairil Anwar." Lanjutnya.
"Apa?" Tanyaku.
""Sekali berarti, setelah itu mati.""

Aku tidak paham akan dunia sastra. Kata-kata Chairil Anwar yang disebutkannya itu sungkan untuk dimengerti. Apalagi bagi orang sepertiku. Yang Aku pahami hanya bahwa dia masih tidak ingin berdagang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline