Memang lidah lidah tak bertulang, ocehan yang sempat keluar dari seorang Guntur Romli beberapa waktu lalu yang pada akhirnya berbuntut penetapan Buni Yani jadi tersangka mungkin perlu di kaji ulang. Kenapa saya katakan demikian, karena apa yang dilakukan oleh Buni Yani tidak menimbulkan adanya akibat berupa munculnya rasa kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Sebagaimana DR. H. Abdul Chair Ramadhan menuturkan dalam salah satu tulisannya sbb;
LEGAL OPINION PEMBELAAN UNTUK BUNI YANI DALAM SIDANG PRAPERADILAN
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
(Ahli Pidana Dewan Pimpinan MUI)
Hukum pidana Indonesia menganut pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawan pidana yang dikenal dengan ajaran dualistis, bukan sebaliknya monoistis.
Tindak Pidana hanya menyangkut perihal 'perbuatan' (actus reus), adapun perihal tentang orang yang melakukan perbuatan dan kepadanya dipertanggungjawabkan adalah hal yang lain. Dengan pemisahan ini, maka kesalahan (mens rea) menjadi faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas dasar hukum tidak tertulis "tiada pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld beginsel).
Tegasnya, seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pidana atau tidak.
Kesalahan sebagai unsur subjektif menuntut adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Pada sangkaan terhadap Buni Yani yang didasarkan pada Pasal 28 ayat 2 UU ITE menimbulkan konflik norma dalam penerapan hukum terhadap peristiwa konkrit yang terjadi.
Beberapa aspek penting yang perlu dicermati adalah sebagai berikut:
1. Unsur kesengajaan