Lihat ke Halaman Asli

M Kabul Budiono

Old journalism never dies

Demonstrasi Supir Taksi: Antara Regulasi dan Aplikasi Teknologi Informasi

Diperbarui: 23 Maret 2016   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bersamaan dengan demonstrasi para supir taksi resmi dan kalangan angkutan umum lainnya, kontroversi muncul di kalangan masyarakat. Ada yang berpihak pada supir taksi resmi, tetapi banyak sekali yang mengecamnya. Ketika anarki terjadi, pihak yang mengecam semakin mempertajam pendapatnya. Dari pendapat yang kontra taksi resmi, sebagian mengemukakan kekecewaan atas layanan taksi resmi dan memuji layanan yang lebih nyaman oleh taksi tak resmi.

Hanya sedikit yang kemudian mengangkat persoalan regulasi moda angkutan umum. Sebagian hanya berfokus bahwa di era tekonologi informasi ini siapa yang tak beradaptasi, bakal ketinggalan. Karena itu di media lantas muncul dua istilah yaitu taksi konvensional dan taksi online. Pembicaraan mengenai aturan dan regulasi kurang mengemuka. Tak perlukah hal itu dibicarakan lebih serius ? Siapa yang mesti bersungguh sungguh memberi perhatian ?

Dalam hal kontroversi taksi resmi dan taksi belum resmi yang dioperasikan melalui aplikasi online, regulasi utama yang berlaku adalah  UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Disinilah mengapa saya menggunakan istilah taksi resmi. Yang resmi mengikuti aturan Undang Undang. Selain ijin usaha angkutan umum, persyaratan lain juga dipatuhi, seperti pengemudi harus memiliki SIM A Umum, Kendaraan di kir setiap 6 bulan sekali, menggunakan tarif berdasar argo yang ditetapkan instansi pemerintah. Penyelenggaranya juga harus mengantongi surat ijin usaha angkutan umum dengan berbagai persyaratannya. Ini yang ditegaskan oleh Menkopohukam Luhut Panjaitan menanggapi meruyaknya kontroversi antara taksi resmi dan angkutan yang berbasis teknologi aplikasi online. Karena itu sesungguhnya sudah benar ketika Menteri Perhubungan merekomendasikan penutupan aplikasi online taksi tidak resmi itu, walau ketika menanggapi itu Menteri Komunikasi dan Informatika sebagaimana terlihat di televisi mengatakan bahwa biar masyarakat yang menilai mana yang lebih bermanfaat. Yang satu mengacu pada regulasi resmi yang lainnya menyerahkan pada penilaian masyarakat. Jika yang satu atas dasar aturan maka yang kedua lebih pada kenyamanan. Jika yang kedua yang dipakai tentu ukurannya adalah nilai mahal murah, kepraktisan memperoleh dan kecepatan layanan dan bukan aturan. Lagi pula ketidak sinkronan pernyataan dan landasan regulasi yang digunakan, dapat mengindikasikan kekurang solidan di antara unsur pemerintahan.

Atas dasar ketidak pastian regulasi dan langkah penyelesaian itu, maka demonstrasi yang  kedua muncul. Lebih massif sifatnya. Gesekan antar masyarakat yang berdemonntrasipun terjadi. Tidak hanya antar supir taksi tetapi juga antar Gojek Online dan  Bajaj. Untung kekisruhan segera bisa diselesaikan.

Pertanyaannya kemudian adalah,  bagaimana sesungguhnya penyelesaiannya ? Lalu siapa yang harus menyelesaikan ? Masyarakat sendiri ?  Ya nggak lah. Pemerintah mesti ambil peranan. Sebab amanah menjadi pemerintah ya menyelesaikan masalah yang antaralain muncul akibat komplikasi regulasi. Jika masyarakat yang harus menyelesaikan sendiri, apalagi anjuran itu dari pemerintah, maka maknanya kita – masyarakat – diajari untuk menafikan kehadiran negara. Ini merisaukan. Mengapa ? Sebab secara etimologis  anarkisme berarti situasi tanpa hukum atau regulasi.  Di beberapa negara, termasuk yang sudah lebih dahulu beradaptasi terhadap teknologi informasi, pemerintah mengambil tindakan atas dasar regulasi angkutan umum dan keselematan penumpang. Atas dasar itu, Jerman melarang praktik pengangkutan masyarakat yang hanya berbasis aplikasi. Amerika Serikat membatasinya. Indonesia ? Pernyataan terakhir dari seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa regulasi layanan angkutan masyarakat berbasis online masih diproses. Nah… jika aturannya belum jelas, kok ya sudah bisa bebas beroperasi ? Jika memang dianggap belum ada aturan resminya, maka yang harus diikuti mestinya peraturan perundang undangan yang sudah berlaku resmi. Dan jika tidak memenuhi pemerintah – atas dasar kehendak melindungi masyarakat serta mudarat lain seperti friksi, kontroversi dan gesekan sebagaimana yang terjadi pada demonstrasi kemarin – ya kenapa tidak bisa secara tegas menghentikan sementara.

Kita tentu tidak ingin kritik negatif terhadap pemerintah yang dinilai sebagai pemadam kebakaran terkesan memang benar adanya. Yaitu baru sibuk memadamkan api setelah kebakaran terjadi, padahal sebelumnya tentu sudah dideteksi adanya kemungkinan terjadi korsleiting akibat sambungan sambungan kabel yang tidak semestinya. Analogi ini berlaku dalam kasus kontroversi taksi resmi dan tidak resmi. Juga harus dihindarkan sering terjadinya ketidak sinkronan dalam memahami persoalan dan menyelesaikan masalah.

Karena itu, sesuai dengan motto Kabinet Kerja, maka tidak ada hal lain yang harus dilakukan kecuali “ Kerja, kerja, kerja….selesaikan kemelut ini” Prinsipnya, regulasi yang pasti dan prinsip keadilan. Untuk yang kedua berlaku, karena ada prinsip equality before the law.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline