Lihat ke Halaman Asli

M Kabul Budiono

Old journalism never dies

Ayah Gayus Tambunan dan Wawancara di TV Kita

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ayah Gayus Tambunan diwawancarai sebuah stasiun televisi      komersil. Pewawancara mencecar orang tua yang bewajah lugu itu, dengan serangkaian pertanyaan. Ada kesan, bahwa si penanya hanya ingin agar laki laki tua itu memberi jawaban "ya" atau " menyiratkan jawaban ya ". Seorang teman saya menuliskan keprihatinannya di jalur pertemanan mengenai cara penyiar TV itu melakukan wawancara. Penilaiannya didasarkan pada telaah cara melakukan wawancara yang baik sesuai pengetahuannya. Saya sependapat dengan penilaiannya itu. Dan saya suka karena teman saya itu punya perhatian dan kesadaran positip mengenai sebuah acara yang baik.

Sesungguhnya bagaimana sih melakukan wawancara yang baik untuk siaran televisi, dan juga radio ? Untuk ini saya ingin mengatakan bahwa program siaran wawancara atau perbincangan di televisi komersil kita, tidak semuanya jelek. Ada yang masih bisa dijadikan acuan bagi mereka yang ingin menjadi pewawancara yang baik. Salah satunya adalah acara Kick Andy. Maaf saya tidak sedang mempromosikan teman saya yang berambut kribo beserta acaranya. Sekali lagi, bukan itu maksud saya. Tetapi sebagaimana Oprah Winfrei, Andi dan tim kreatifnya telah menyajikan model acara wawancara atau perbincangan yang ‘baik'. Acaranya tetap menarik, namun patuh pada standar wawancara yang baik.

Sebagai sebuah acara, programnya Oprah dan Andi tetap memenuhi persyaratan yang mesti dimiliki oleh pengisi acara di sebuah televisi komersil, yaitu menarik. Itu ditunjukkan dengan ‘rating' yang tinggi. Karenanya acara itu terus diijinkan bertengger di televisi dari waktu kewaktu. Lantas apa ukuran menarik itu ?

Menurut para ahli jurnalisme sebuah program berita, akan menarik jika memenuhi apa yang mereka sebut mempunyai newsvalue atau bernilai berita di antaranya aktual atau baru, dan sedang menjadi perhatian banyak orang atau significant. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa newsvalue adalah kontroversi dan sensasi. Karena itu jangan kaget, jika hampir semua wawancara di media adalah mengenai hal hal yang sedang jadi berita, baru terjadi dan signifikansinya tinggi, atau sedang menjadi kontroversi.

Maka jangan heran, ketika kasus Bank Century sedang menjadi hot issues dan controvercy, maka nyaris semua media elektronik mengangkat masalah itu. Tidak cuma sekedar mengangkat, melainkan ada kecenderungan mengeksploitasi isu itu. Juga dengan kasus Gayus Tambunan. Karena dinilai sedang jadi hot issues, maka dilakukanlah wawancara habis habisan mengenai isu ini. Narasumberpun dicari cari, termasuk ayahnya Gayus yang polos itu. Jadi dari sisi isi, nampaknya tidak ada masalah dengan wawancara di televisi kita. Lantas apanya yang mungkin bisa dinilai tidak sesuai dengan profesionalitas dan etika berwawancara.

Untuk hal ini, dapat terkait dengan tujuan diselenggarakannya wawancara dan bagaimana si pewawancara melaksanakan tugasnya.

Untuk tujuan, menurut pakar penyiaran dan jurnalisme, wawancara hanya bertujuan untuk memberitahu pendengar atau pemirsa bagaimana narasumber mengetahui duduk soal suatu kejadian ( informatif ), pendapat atau komentar si narasumber ( interpretif ), atau pengalaman nara sumber sebagai pelaku atau yang terlibat atau yang terkait dengan kejadian itu. Untuk itu, si pewawancara ( interviewer ) hanyalah bertanya. Ia tidak boleh mengemukakan opininya sendiri dan memaksakan agar si interviewee ( yang diwawancarai ) menjawab seperti apa yang ia pikirkan dan inginkan. Perilaku memaksanakan kehendak akan nampak betul dalam pola kalimat pertanyaan, atau agresivitas si interviewer ketika menanyakan atau memberi tanggapan atas jawaban dari yang diwawancarai.

Misalnya "... bla bla... ya begitu kan pak ", atau " bukankah seharusnya Bapak mesti.... bla bla bla..."

Terkait dengan ini, menarik untuk mencatat pendapat Larry King , pewawancara terkenal CNN yang bertahun tahun memandu acara Larry King's Live. Dalam bukunya, How to Talk to Anyone, Any Time Anywhere, Larry menulis begini " I don't feel that you have to come at your guest in attack mode, or like a prosecuting attorney, to get solid, substantive answers " Menurutnya, ia lebih memilih " to engage my guest on a personal level " Dengan begitu Raja Wawancara itu yakin dapat memandu interview yang informatif dan tetap menarik untuk ditonton.

Di Indonesia, sebagaimana yang teman saya prihatinkan mengenai wawancara ayah Gayus Tambunan, pewawancara yang ‘baik' dipersepsikan dengan cara berbeda. Si pewawancara mesti bergaya tahu segalanya ( walaupun tidak mempersiapkan diri sebelumnya ) , kelihatan atau kedengaran galak dan berani menggertak yang diwawancarai serta merasa seperti jaksa, hakim atau penyidik yang mengganggap yang diwawancarai harus menjawab seperti yang ia inginkan.  Selain itu, narasumber pun, jangan jangan memang sudah dipilih yang bakal punya pendapat seperti yang empunya televisi maukan. Pola seperti itu, menurut amatan saya,  tidak hanya  kadang-kadang dilakukan  beberapa interviewer TV komersil tetapi juga beberapa pewawancara TV dan radio publik,  RRI dan TVRI.

Kebiasaan tak semestinya dan salah kaprah itu,   akhirnya membangkitkan kesadaran semu ( false consiousness ) bagi pemirsa untuk televisi dan pendengar untuk radio, mengenai bagaimana seharusnya wawancara yang baik seharusnya dilakukan.

Demikian sekedar pendapat dan catatan saya terkait wawancara dan cara orang berwawancara di televisi kita, sehubungan keprihatinan seorang teman saya.

Salam hangat,

M Kabul Budiono.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline