Lihat ke Halaman Asli

M Kabul Budiono

Old journalism never dies

Wah, Saya Kecanduan Kompasiana!

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ya, betul. Saya kecanduan Kompasiana. Saya merasakan gejalanya. Seperti obat, saya mesti membukanya, sedikitnya 3 kali sehari. Bisa lebih dari itu. Pagi, sebelum ngantor. Siang waktu istirahat, dan sore atau malam sebelum tidur. Bahkan saya juga suka nyuri-nyuri waktu buat mengkonsumsinya di sela sela rapat. Nah ini lagi, kalau lagi kena macet, saya buka juga. Apakah melalui HP atau laptop saya. Saya tidak menduga bisa menjadi sedemikian kecanduan.

Saya pertama kali membuka Kompasiana, gara gara Kang Fatchurachman sahabat saya. Di Facebook, pensiunan RRI yang sekarang ‘madeg pandito di lereng Merapi’ itu memberitahu saya untuk ngelink Kompasiana, karena disitu ada tulisannya. Sayapun mengikuti sarannya. Saya baca. Di situ saya lihat banyak betul tulisan tulisan Kompasianer lainnya. Ketika itu menjelang satu tahun usia Kompasiana. Sayapun lantas mengontak Kaji Fatchur lebih lanjut dan menanyakan bagaimana caranya menjadi warga Kompasiana.

‘ Gampang Kang ‘, demikian tulisnya. Ia pun menunjukkan cara caranya. Maka sejak 13 Juli 2009 pun saya jadi salah seorang Kompasianer. Saya coba coba nulis. Judultulisan perdana itu “ Ibu Pertiwi dan Bencana Alam”.Ekh, senangnya bukan main. Tulisan itu dibaca oleh lebih 300 kompasianer. Tulisan mengenai “Ditilpon atau menilpon Cikeas’, malahan dibaca sekitar 700an orang. Tetapi ada juga yang cuma dibuka sekitar 40an orang. Maka setidaknya seminggu dua kali sayapun nulis. Bahkan ketika menjelang lebaran haji saya setiap hari nulis ‘Haji dan Nuansa Hati’. Sayapun lantas punya tambahan teman. Yang pertama ya Kang Fatchur yang suka nulis tema keagamaan dengan gayanya yang khas, lalu ada mbak Linda, yang dulu suka sama sama meliput pak Harto, juga ada tulisan Mariska yang nggemesin ( tulisannya lho ), ada Ken Arok yang tegas tuntas, ada Om Jay guru yang juga wirausahawan, ada bung ASA yang yang tak pernah berputus asa, dan masih banyak lagi yang lainnya ( maaf, minjam bait lagunya Oma Irama ). Dan juga ada Pak Yusuf Kalla, Faisal Basri teman sejak masih belum masuk PAN dulu, ada Pak Prayitno, danada pula pak Cheppy Hakim serta pak Kadiman.

Blog sesungguhnya merupakan bentuk ruang publik ( public spheres meminjam istilahnya Juergen Habbermas ) yang memungkinkan sesiapapun berdiskusi dengan bebas terpisah dari ranah kekuasaan negara. Di ruang terbuka ini seseorang bisa secara bebas dan bertanggung jawab sosial menyoroti kebijakan negara serta melakukan advokasi atas kepentingan orang lain maupun dirinya. Karena itu ada yang dengan tajam menyoroti SBY, DPR dan unsur penegak hukum. Juga mengenai berbagai kebijakan publik dan pelaksanannya. Pun wacana mengenai apa saja teramsuk sesama kompasianer terbuka luas. Dalam kasus tulisan Inge Hanum yang menyoroti ‘ geng ngocol ‘ nampak benar terjadi pertukaran pikiran secara bebas dan cerdas tentang bagaimana menulis yang baik. Pun terbuka pertukaran pandang, tidak hanya lintas ilmu dan pengetahuan, tetapi juga lintas budaya dan agama. Saya senang punya teman penulis seperti Katedra Rajawen, ada Yacob Hermawan, ada pula Berthy Rahawarin dan lain lainnya.

Di sisi lain, blog sebagaimana diwujudkan melalui Kompasiana adalah wujud jurnalisme warga yang sesungguhnya ( the real civic journalism ). Orang bisa melaporkan sesuatu tanpa terikat kaidah kaidah jurnalisme baku. Taklah dipedulikan prinsip piramida terbalik ( inverted pyramide ) atau pola jam gelas ( glass hour ) sebagaimana diuraikan panjang lebar dalam buku buku jurnalistik.

Bagi saya, menulis untuk blog, dalam hal ini Kompasiana, tidaklah banyak beda dengan menulis naskah untuk RRI, tempat saya bekerja. Prinsipnya sama singkat, padat, jelas apa maunya. Jika di radio ada prinsip menulis untuk telinga ( writing for the ears ) maka di blog menulis untuk mata ( writing for the eyes ). Tetapi filosofinya hampir persis. Radio adalah medium sekilas dengar sedangkan blog, sesuai karakter pembacanya, adalah medium sekilas baca. Jadi nulisnya tentu nggak semestinya panjang panjang. Hanya memang, kalau menurut pendapat saya, keduanya perlu disertai daya tarik di bagian awal apalagi judulnya. Di radio disebut ear cacther di blog atau media cetak lain dikenal dengan istilah eye catcher. Di situlah antaralain kelebihan tulisan Mariska, Ken Arok, Om Jay dan lain lainnya.

Jadi begitulah, saya sekarang benar benar telah kecanduan Kompasiana. Saya tidak tahu bagaimana menghentikannya,sebab saya sendiri tidak punya niat menghentikannya. Mengapa ? Sebab di sini, saya bisa punya banyak kawan untuk saling tukar pengalaman, pikiran dan pandangan sehingga dapat memperkaya wawasan serta kesadaran untuk mau dikritik. Dan yang juga penting bisa menuangkan gagasan dengan kesadaran penuh untuk dikritisi. Atau jika tidak menarik, tidak dibaca sama sekali. Ya nggak apa apa, tokh.

Untuk itu tentu saya mesti berterima kasih pada siapapun yang sudah menyediakan Kompasiana untuk kita semua dan menyebabkan  gejala adictive untuk menulis pada  saya, dan mungkin yang lainnya.

Salam Kompasiana.

Kabul Budiono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline