Lihat ke Halaman Asli

M Kabul Budiono

Old journalism never dies

Nasionalisme Ma'ruf

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya mengajari anak saya, mencintai negeri ini “, ucapan itu kembali terdengar di telinga saya, saat tiba di Bandara Soekarno Hatta, Jum’at 11 Desember 2009 lalu. Sejak lima hari, saya meninggalkan hiruk pikuk ibukota untuk berkunjung ke Papua, tepatnya ke Jayapura dan Merauke. Di Merauke, tepatnya sekitar 80 kilomter sebelah timur Merauke, lebih pas lagi di perbatasan PNG dan Papua, saya mendengar ungkapan itu. Bukan dari seorang pejabat tinggi negara, politisi, tokoh masyarakat, pimpinan TNI atau POLRI, melainkan dari seorang “Ma’ruf ”.

Pertemuan saya dengan Ma’ruf sungguh tidak saya duga sebelumnya. Hari itu, Kamis sehabis menjadi narasumber diskusi ‘ Penguatan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik’, yang diselenggarakan di RRI Merauke saya diajak Agung Susatyo , Kepala RRI Merauke mengunjungi Distrik Sota, perbatasan RI dan PNG di timur Merauke. Menuju Sota diperlukan waktu sekitar satu jam dengan mobil. Sebelum sampai di Sota, seseorang akan melewati Taman Hutan Nasional Wasur, yang antaralain dikenal dengan ‘rumah semut’ dan rusa nya. Sota berada di sebelah kanan jalan dari jalan propinsi yang menghubungkan Merauke dangan Boven Digul. Lantas apa istimewanya Sota ? Dan bagaimana asal muasal terdengarnya kalimat “ Saya mengajari anak saya, mencitai negeri ini ?”.

Sota dan Ma’ruf, nampaknya merupakan dua hal tak terpisahkan. Sota adalah pintu lintas batas PNG dan RI. Di Sota terdapat salah satu dari 52 tugu batas wilayah NKRI dan PNG. Tugu yang terletak pada 8’ 25’ 45 LS dan 141’ 01’ 10’ BT itu dibangun tahun 1983. Di Sota, untuk keperluan pertahanan keamanan terdapat markas Batalyon Infantri 753, Arga Vira Tama yang sejak sebulan lalu dikomandani oleh Kapten Imam Utomo. Juga ada Satuan Brimob. Penduduk distrik Sota diperkirakan tidak sampai seribuan orang. Keramaian ? Jangan bandingkan dengan Entikong, pintu lintas batas RI dan Malaysia di Kalimantan Barat.

Sebelumnya saya sudah sempat juga mengunjungi Entikong di Kalimantan barat yang merupakan lintas batas RI dengan Malaysia. Walaupun demikian, dari keberadaannya, taklah dapat Sota dibandingkan dengan Entikong. Keduanya sama sama kecamatan tetapi secara demografis dan perekonomian, pun kesibukan pelintas batas keduanya taklah bisa diperbandingkan. Tidak ada bangunan untuk menempatkan lintas instansi secara terpadu di Sota. Tidak ada kesibukan pemeriksaan barang barang dagangan yang masuk ke wilayah RI di Sota. Juga tidak ada banyak manusia yang hilir mudik di perbatasan, apakan lagi, bus, oplet dan ojek. Selama sekitar 2 jam di perbatasan Sota hanya ada satu pelintas batas dari Indonesia yang datang dari arah PNG dengan sepeda motor. Menurut informasi dalam satu hari belum tentu ada satu orang yang melintas batas. Sekitar satu kilometer dari pintu perbatasan Sota, yang ada hanyalah beberapa warung makan yang sering disinggahi supir truk dan taksi khusus yang tiba dari Bovel Digul. Salah satunya adalah warung Mbah Jum dari Karanganyar Jawa Tengah, yang sejak muda menetap di situ. Pastinya, semua yang terlihat di Entikong, tidak dijumpai di Sota. Jika penghubung kedua negara di Entikong adalah jalan negara yang beraspal, maka di Sota ? Jika di wilayah Indonesia sudah dibangun jalan beraspal maka dari perbatasan memasuki wilayah PNG yang ada hanya jalan tanah setapak. Jika di Entikong yang lebih nampak OKE adalah Malaysia, maka di Sota sebaliknya. Satu satunya yang menjadi penanda titik perbatasan di Sota adalah Patok/ Tugu Perbatasan dan Taman sangat sederhana dengan dominasi warna merah putih. Taman itu bukan dibangun khusus oleh Pemerintah daerah, melainkan dibentuk, dihiasi dan dirawat oleh Ma’ruf.

Ma’ruf adalah salah seorang polisi dari Polsek Sota. Pria kelahiran Magelang Jawa Tengah itu bertugas di Sota sejak tahun 1993. Sebelumnya ia bertugas di Mappi. Salah satu distrik yang kini dimekarkan menjadi Kabupaten. Jaraknya lebih jauh dari Bovel Digul. Pria yang lahir tahun 1967 dan suami dari Titi Handayani yang diboyongnya dari Jawa Tengah itu , kini berpangkat Aiptu Polisi. Dari perkawinannya itu Ma’ruf punya dua anak yaitu Adek Yulianto dan adiknya , Indah Hayati. Berkat Ma’ruf lah taman perbatasan di Sota dapat berwujud seperti sekarang ini. Dari yang semula hanya ada sebuah tugu perbatasan dan lapangan, kini sudah ada tempat berteduh, tanaman hias dan beberapa tulisan yang menegaskan keberadaan wilayah NKRI. Juga sebuah warung yang ramai pada hari Minggu yang biasanya merupakan hari kunjungan penduduk Merauke dan sekitarnya ke Sota. Dari warung itulah ia mendapatkan tambahan penghasilan. Selain itu ia juga memanfaatkan sedikit lahan di dekat taman untuk bercocok tanam ubi rambat dan gembili , yang sering dibeli oleh pelintas batas dari PNG. Dibantu oleh anak sulungnya, yaitu Adek Fitrianto yang tahun 2009 duduk di kelas dua SMP Sota, Ma’ruf memelihara taman Sota dan berusaha menyenangkan para pengunjung. Ia kini sedang mulai membangun tempat peribadatan kecil di satu pojok lain taman. Juga dengan biayanya sendiri. Mengenai warna merah putih yang menghiasi pagar dan hiasan lainnya ia mengaku mendapat bantuan cat dari pemda.

-Saya membiayai sendiri hampir seluruh biaya pembangunan taman ini ‘, demikian Ma’ruf menjawab pertanyaan saya mengenai keberadaan taman mungil yang bersih dan rapi itu. Diapun, demikian penuturan Ma’ruf, tidak mendapatkan honor tambahan dari kemauannya merawat dan menjaga taman yang dibangunnya sendiri itu.

-Dengan keadaan begini, kan orang orang pada mau datang melihat perbatasan negara kita.  Kalau hari libur yang datang banyak, pak.’

Dibantu oleh anak sulungnya, yaitu Adek Fitrianto yang tahun 2009 duduk di kelas dua SMP Sota, Ma’ruf memelihara taman di perbatasan itu dan berusaha menyenangkan para pengunjung. Ia kini sedang mulai membangun tenpat peribadatan kecil di satu pojok lain taman. Juga dengan biayanya sendiri. Mengenai warna merah putih yang menghiasi pagar dan hiasan lainnya ia mengaku mendapat bantuan cat dari pemda.

Ketika saya tanya untuk apa ia melakukan semua itu ? Laki laki bertubuh ramping tegap dengan kulit yang menghitam itu menjawab dengan pasti,

Saya ingin mengajari anak saya, mencintai negeri ini “.

Saya tertegun mendengarkan kata-kata Ma’ruf. Saya merasakan satu semangat nasionalisme. Nasionalisme dalam bentuknya yang sederhana yang dipahami dan dilaksanakan oleh orang sangat sederhana – Ma’ruf, di suatu tempat yang jauh dari ibukota yang merupakan pusat kekuasaan yang sarat retorika.

Kata kata Ma’ruf itu terus terngiang di telinga saya. Mengapa ? Karena, saya mesti jujur mengatakan,hal itu tidak pernah terbersit dalam pikiran saya, apalagi saya ucapkan secara eksplisit.   Yang pasti kata kata Ma’ruf ikut menggugah kesadaran saya.

M Kabul Budiono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline