Seusai membaca novel Orhan Pamuk, The Red Hair Woman, saya teringat dengan berita-berita kriminal di media massa. Seorang anak tega membunuh ayahnya, atau seorang ayah sanggup menghabisi nyawa anaknya. Sesuatu yang miris dan memilukan. Bagaimana mungkin dua orang yang punya ikatan darah yang kuat menjadi retak dan hancur. Pepatah mengatakan seganas-ganasnya harimau tidak akan pernah memangsa anaknya sendiri. Namun ternyata manusia lebih ganas dari pada binatang.
The Red Hair Woman (RHW) berkisah tentang Cem, laki-laki yang lahir dan besar di Turki. Dalam episode hidupnya Cem bekerja kepada Tuan Mahmut sebagai asisten penggali sumur. Sebuah pekerjaan yang tidak punya masa depan lebih baik. Demi mendapat uang untuk mendaftar kuliah Cem yang sebetulnya berasal dari kalangan terpelajar terpaksa melakukan pekerjaan kasar itu.
Tuan Mahmut dan Cem mendapat pekerjaan menggali sumur di Ongoren, daerah di pinggiran Istanbul yang di tahun 50-an masih belum banyak terjamah manusia. Walaupun medan bertandus dan berbatu, tak butuh waktu lama hubungan antara bos dan anak buah itu menjadi dekat. Segera mereka menjadi seperti ayah dan anak. Itu karena Tuan Mahmut membimbing dan mengajari Cem cara menggali yang benar, dan memperlakukan Cem seperti anak sendiri.
Sementara sumur yang digali belum menampakkan tanda-tanda akan adanya air, Cem justru terpikat pada seorang wanita berambut merah, primadona teater keliling. Cem yang waktu itu masih berusia 16 tahun jatuh cinta dan mengalami petualangan cinta yang celakanya membawanya pada bencana.
Suatu hari Cem yang terus memikirkan wanita berambut merah lalai dan menjatuhkan ember ke dalam sumur yang sedang digali Tuan Mehmet. Teriak kesakitan dari dalam sumur membuat Cem panik. Dia tidak sengaja menjatuhkan ember berisi tanah itu. Ia segera ke desa mencari pertolongan, namun tak ada siapapun yang ditemuinya. Pada akhirnya ia memutuskan lari dari tempat itu. Lari dari rasa bersalahnya meninggalkan orang yang dia anggap sebagai ayah.
Sejak saat itu Cem dihantui perasaan bersalah. Ia tak berhenti memikirkan peristiwa itu bahkan hingga puluhan tahun berlalu. Cem menjadi pengusaha properti. Ia kaya dan memiliki istri yang cantik. Sayang sekali mereka tidak punya anak. Bisnis yang berkembang hingga takdir membawanya pada Ongoren membuka misteri yang bertahun-tahun terpendam. Bahwa "kejahatan'' dalam peristiwa kejatuhan di sumur itu sesungguhnya rangkaian tak terpisahkan dari tragedi di ujung kisah ini yang membuat seorang ayah terbunuh oleh anaknya sendiri. Kisah yang sama yang dibaca Cem dari di Toko Buku Tuan Denis: Oedipus. Ataupun kisah yang membuat Cem larut di dalam teater keliling yang diperankan oleh perempuan berambut merah: Shahnameh.
Oedipus dan Shahnameh adalah dua kisah tentang pembunuhan. Oedipus membunuh ayahnya sendiri, sedangkan Rostam dalam kisah Shahnameh membunuh anaknya sendiri. Saya tak perlu mengurai dua kisah abadi dari Yunani dan Persia ini. Dua kisah ini menyisakan penyesalan dan duka yang sangat mendalam oleh pembunuh atas perbuatan membunuhnya.
Selain pembunuhan atas ayahnya, fragmen lain dari Oedipus adalah ia menikahi ibunya sendiri. RHW ini tidak terlepas dari kisah itu, namun dalam bentuk yang lebih kompleks. Kisah Oedipus versi modern, tulis The Herald.
Lalu apa ujung kisah tentang Cem? Siapa yang terbunuh? Silakan baca novel ini. Bagian awal novel ini terasa datar. Tak ada peristiwa yang terlalu menarik bagi saya. Tak ada konflik yang membuat saya merasa sangat tertarik. Tetapi Pamuk menarik saya ke dalam cerita panjang tentang penggalian sumur dan petualangan cinta Cem dengan penggambaran di mana saya seolah-olah berada di samping Cem menjalani takdirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H