Sejak menjabat sebagai Menteri Agama, Nazaruddin Umar beberapa kali menyatakan gagasannya tentang memberantas korupsi di Indonesia dengan menggunakan dalil-dalil agama. Menurut penulis, gagasan itu adalah bukan gagasan yang baru, namun mengapa selama ini gagasan itu dianggap kurang berhasil. Padahal menurut penulis yang telah mempelajari neuroscience sejak 2014 (dan menjadi ratusan artikel & video), gagasan itu seharusnya bisa efektif untuk menjadi vaksin penawar virus korupsi yang sudah berurat-berakar di negeri ini sejak lama sekali.
Agama tentu bisa punya pengaruh pada emotion regulation, karena "kehadiran" Tuhan mempengaruhi kemampuan Anda dalam mengamati diri Anda sendiri. Anda seperti menjadi 2 sosok yang berbeda, yaitu sosok pertama bersama Tuhan dan sosok yang kedua ada dalam sebuah jarak dan diamati oleh sosok pertama bersama Tuhan. Yang diamati tentu saja apa yang Anda pikirkan dan Anda lakukan. Jika Anda mampu mengamati, maka Anda mungkin juga mampu menilai/menghakimi apa yang Anda pikirkan atau lakukan itu.
Tak banyak yang melihat peran emotion regulation ini pada agama, padahal sejak ribuan tahun lalu sejak sejarah peradaban manusia dimulai, emotion regulation ini yang dikejar oleh berbagai peradaban manusia di berbagai tempat sejak setidaknya 10.000 tahun lalu.
Emotion regulation jika dimiliki pada tingkat yang tinggi, maka Anda akan menjadi orang yang lebih baik, bahkan Anda akan menjadi orang yang pemurah, mudah menolong, ramah, atau tidak mudah membenci, marah, curiga, takut, cemas, atau menjadi lebih pro-social, juga bahkan dengan sebutan yang lebih ekstrim: orang suci, spiritualist, dll.
Daniel Goleman sejak tahun 1995 sudah membahas soal pentingnya emotion regulation dalam buku yang menjadi best seller selama bertahun-tahun: "Emotional Intelligence". Kata intelligence menggantikan kata regulation untuk lebih menekankan betapa pentingnya 'regulation pada emotions' untuk berbagai tujuan positif, seperti menjadi leader, berprestasi, produktif, cerdas, kreatif, penuh solusi, bermoral, pro-social, dan lain-lain yang positif.
Emotion regulation sudah dibahas jauh sebelum ditulis di buku Daniel Goleman. Socrates & Plato pun sudah membahasnya, meski dengan menggunakan sebutan yang tidak sama. Buku yang ditulis Daniel Goleman telah memicu berbagai riset lanjutan atau pembahasan lanjutan, termasuk juga oleh neuroscience. Emotion regulation sekarang bisa dijelaskan, misalnya bagian mana saja dari berbagai bagian otak yang punya peran dalam memproses emotion regulation. Termasuk kegiatan apa saja yang bisa menghasilkan emotion regulation atau yang merusaknya.
Mereka yang disebut sociopaths, adalah mereka yang kurang atau tidak memiliki emotion regulation. Beberapa riset menunjukkan mereka memiliki mind-wandering yang "liar", sehingga akibatnya mereka kurang menyadari adanya mind-wandering dalam kepala mereka. Jika mereka kurang menyadarinya, maka itu berarti mereka kurang mampu mengamati apa yang mereka pikirkan dan lakukan. Akibatnya mereka disebut impulsive, cenderung melanggar norma sosial atau aturan, hukum, karena tidak terjadi proses pertimbangan baik/buruk di otak mereka yang dihasilkan dari sebuah proses emotion regulation. Beberapa akibat lain dari tiadanya emotion regulation adalah mereka kekurangan empathy, tidak mampu mengenal konsep salah/benar yang berlaku umum, tidak mengenal rasa bersalah, menyesal atau malu saat bertindak salah.
Penutup
Yang kurang berhasil diterapkan selama ini nampaknya adalah praktik "menghadirkan" Tuhan bersama Anda. Berbagai ibadah yang dilakukan hanya terjadi secara mekanis, atau sekedar dilakukan agar tidak berdosa atau sekedar untuk mendapat "imbalan", bukan untuk "menghadirkan" Tuhan bersama Anda. Sebagaimana disebut di atas, "kehadiran" Tuhan penting untuk menghasilkan emotion regulation yang selanjutnya akan menghasilkan berbagai perubahan positif seperti tersebut di atas.
Sementara itu neuroscience telah menemukan dari berbagai riset pada meditasi dan beberapa praktik sederhana lainnya (Yoga) selama beberapa dekade terakhir, mampu memperbaiki emotion regulation. Praktik yang menjadi obyek riset ini sudah dipraktikkan selama ribuan tahun dan dianggap mampu mengubah mereka yang mempraktikkannya menjadi lebih spiritualis atau menjadi orang yang lebih baik. Praktik dari dunia Timur itu meski sederhana, namun tetap saja membutuhkan latihan yang panjang untuk bisa mendapatkan hasil yang memuaskan.