Ramai soal video pak guru berhubungan seksual dengan murid perempuannya di Gorontalo baru-baru ini.
Banyak yang memberi komen negatif pada murid itu. Misalnya disebut lebih agresif daripada pak guru. Juga penuh inisiatif untuk memulai aktivitas itu. Atau ia terlihat menikmati setiap detik aktivitas itu. Tidak terlihat ada keterpaksaan atau indikasi dipaksa pak guru.
Bagaimana sudut pandang sains & hukum melihat video porno itu?
Namun dari sudut pandang sains, maka sudah pasti pak guru itu orang yang impulsive. Artinya melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pertimbangan waras. Ia hanya mengikuti dorongan naluri primitifnya, yaitu beranak-pinak. Padahal naluri itu tidak boleh diumbar, tetapi diatur, yaitu melalui lembaga perkawinan terlebih dahulu. Itu artinya juga naluri primitif beranak-pinak diatur oleh norma, aturan atau hukum positif.
Mereka yang memiliki ciri impulsive memang cenderung untuk melanggar norma atau hukum positif.
Pelanggar norma, aturan, atau hukum positif digolongkan sebagai berperilaku antisosial. Artinya: beberapa aspek kehidupannya dijalankan tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Padahal berbagai kepentingan orang lain itu sudah diatur atau didefinisikan dalam bentuk norma yang berlaku atau hukum positif. Namun pak guru ini bisa saja tampil sebagai guru yang baik, yang mulia, atau yang terhormat, karena memiliki kemampuan untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya. Padahal mungkin saja pak guru mempraktikkan satu kejahatan yang populer dengan sebutan child grooming (klik di sini mengenai child grooming).
Sedangkan psikologi menyebut mereka yang antisosial ini sebagai ASPD yang kepanjangannya adalah AntiSocial Personality Disorder.
Lalu bagaimana dengan anak perempuan yang menjadi pasangan pak guru di video itu? Sudah bisa dipastikan anak itu belum berusia 18 tahun, sehingga ia masih anak-anak menurut UU Perlindungan Anak.
Orang dewasa atau pak guru menurut UU Perlindungan Anak memiliki kewajiban untuk melindungi atau menjaga setiap anak yang ada di dekatnya atau dalam pengawasannya agar anak itu tidak melakukan pelanggaran norma atau hukum positif.
Jadi pak guru harus masuk penjara, kecuali kelompok agamawan menekan penegak hukum untuk memaksakan beberapa dalil agama digunakan untuk membenarkan apa yang dilakukan pak guru.
Saya meprediksi: pak guru akan mendapat sangsi "ringan" saja, sementara anak yang menjadi korban akan menghadapi masa depan yang lebih sulit. Entah apa yang akan dilakukan para aktivis pembela anak?