Lihat ke Halaman Asli

M. Jojo Rahardjo

Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Spiritualisme di Jaman AI Masih Ada?

Diperbarui: 4 September 2023   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Medium.com

Gara-gara diluncurkannya ChatGPT, My AI di Snapchat, DALL-E, Bing Powered by AI, dll, beberapa bulan lalu, maka muncullah kegemparan di seluruh dunia. Banyak orang yang mengalami euforia pada AI yang dikembangkan dengan penuh semangat ini oleh salah satu pengembangnya, OpenAI. Mereka yang tidak mendalami teknologi, apalagi teknologi AI ikut-ikutan membuat komen agar tidak disebut ketinggalan. Sayangnya banyak yang menjadi korban FOMO (the fear of missing out).

Bagaimanapun, para ahli menyebut level AI baru dicapai saat ini tidak lebih dari intelegensi anak berumur 10 tahun

Baru-baru ini ada gambar yang beredar di medsos menunjukkan perkembangan AI bakal mengganti para spiritualist di biara. Di gambar itu ada robot di biara seolah sedang mengajar spiritualism. Atau sedang mengikuti program spiritualism?

Tentu saja gambar itu dibuat dengan mengandalkan euphoria semata pada AI, bukan pemahaman yang tepat pada  perkembangan AI di dunia dalam setidaknya 2 dekade terakhir.

Robot itu digambarkan memiliki bentuk seperti manusia. Tentu itu gambaran AI di tahun 40, 50, 60an yang sangat ketinggalan.

Mengapa Ajaran Spiritualism Mungkin Sekali Bakal Meredup atau Menghilang?

Salah satu tujuan utama dari praktik spiritualism sejak ribuan tahun lalu adalah sebuah praktik untuk menurunkan negative emotions secara signifikan. Jika negative emotions bisa diminimalkan, maka otak akan berfungsi lebih maksimal. Apapun yang positif bisa kita harapkan dari otak yang berfungsi maksimal itu, misalnya berbagai perbuatan baik.

Jika membaca berbagai bahasan sains soal AI, maka Anda temukan: AI seperti manusia memiliki kemampuan untuk memahami emotions, terutama negative emotions. Kemampuan itu yang selama ribuan tahun dipelajari oleh manusia di berbagai pelosok Bumi. Kemampuan ini membuat kita seperti memiliki observer atau regulator yang bisa menjamin agar kita tidak tergelincir dalam kubangan negative emotions yang membuat kita tidak mampu mengeluarkan potensi positif yang sudah ada.

Daniel Goleman, seorang psychologist dan neuroscientist membahas soal kemampuan itu dalam bukunya di tahun 1995 berjudul "Emotional Intelligence". Hingga saat ini apa yang dibahas Goleman masih terus menginspirasikan berbagai riset sains untuk terus mendalami soal emotions.

Bahasan sains pada negative emotions ini semakin membuat terang mengapa seorang sociopath (ASPD) bisa sangat kejam, yaitu karena ketidakmampuannya untuk menyadari adanya negative emotions pada orang lain dan ketidakmampuannya untuk meregulasi negative emotions-nya sendiri.

Sociopath itu yang nampaknya menjadi target dari para spiritualist sejak ribuan tahun lalu. Sociopath hanya kira kira 3-5 % lebih dari populasi, namun jika mereka memiliki kekuasaan, maka mereka akan membuat kerusakan di atas muka Bumi. Sejarah mencatat itu. Jika sociopath ini tidak membuat kerusakan di atas muka bumi, mereka menjadi gangguan (toxic people) bagi sekitarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline