Baru-baru ini Eko Kuntadi menulis sebuah artikel berjudul "Drama Erick dan Anies di Lapangan Bola". Artikel ini bergaya teori konspirasi, yaitu mengembangkan apa yang janggal dari sebuah peristiwa besar.
Munculnya berbagai teori konspirasi tak terhindarkan dari tiap peristiwa besar, karena mencipta teori konspirasi terpicu oleh salah satu kecenderungan dasar manusia yang sering disebut mind-wandering (pikiran yang selalu berkelana) yang tingkatannya berbeda-beda pada tiap orang. Ada beberapa artikel yang sudah saya tulis mengenai mind-wandering ini (klik di sini).
Sedangkan, jika kita mengutip Harari, apa yang terjadi kemarin itu: 1. penolakan pada Israel, dan 2. reaksi masyarakat pada penolakan itu adalah salah satu bentuk local politics.
Lebih jauh, Harari sering mengingatkan soal global cooperation. Ia juga sering menyebut apa yang terjadi di pinggir Sungai Kuning Cina sebagai contoh pentingnya global cooperation dibanding nasionalism atau local politics. Di pinggir Sungai Kuning ribuan tahun lalu, berbagai suku menderita secara berkala, karena Sungai Kuning secara berkala mengalami banjir dan kering secara ekstrim. Lalu kemudian atas nama kepentingan bersama, semua suku yang tinggal di pinggir sungai Kuning berpadu untuk membuat tanggul besar di sepanjang pinggir sungai yang kemudian berhasil menurunkan penderitaan berkala mereka sebelumnya.
Sungai Kuning itu ada di mana-mana di seluruh dunia, dan dalam skala yang lebih besar lagi. Semua itu tentu membutuhkan global cooperation. Sungai Kuning di seluruh dunia itu misalnya bernama: climate change, nuclear war, pandemi, mental health, artificial intelligence, poverty, peacekeeping, dan lain-lain. Itu semua hanya sebagian dari daftar global issues yang membutuhkan global cooperation. Konflik Israel-Palestina masuk ke dalam kategori peacekeeping di daftar itu. Olahraga, misalnya Piala Dunia U-20 adalah salah satu yang bisa mendorong upaya peacekeeping.
Semuanya itu membutuhkan global cooperation!
Namun nampaknya Indonesia belum siap terjun ke dalam global cooperation yang seharusnya tidak bisa kita hindari itu. Aturan hukum, atau UU di Indonesia ternyata belum beradaptasi dengan perubahan yang cepat di dunia. Misalnya masih ada Peraturan Menteri yang tafsirnya menghambat global cooperation, misalnya melarang delegasi Israel masuk ke Indonesia.
Itu membuat politisi Indonesia mudah terjebak dalam national politics. Mereka tidak ingin disebut sebagai pelanggar aturan, misalnya pelanggar Permenlu, apalagi melanggar UU.
Butuh seorang negarawan untuk cepat mengkoreksi situasi ini. Tidak boleh situasi ini berlarut-larut, karena kita akan semakin tertinggal dalam pergaulan antar penduduk di pinggir Sungai Kuning dunia.
M. Jojo Rahardjo
Menulis ratusan artikel & ratusan video seputar neuroscience
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H