Lihat ke Halaman Asli

M. Jojo Rahardjo

Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Kemenangan Bongbong Marcos, Alarm bagi Indonesia

Diperbarui: 9 Juni 2023   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Kompas.com

Kompas 16 Mei 2022 lalu memuat laporan tentang Bongbong Marcos yang terpilih menjadi presiden Filipina. Laporan itu menjelaskan bagaimana Bongbong menggunakan medsos untuk meraih kemenangan, yaitu dengan menebar disinformation di medsos selama bertahun-tahun sebelumnya.

Sedangkan di Indonesia, kita semua sudah melihat sendiri bagaimana medsos dimanfaatkan untuk kampanye hitam di pilpres 2014, pilkada Jakarta 2017, dan di pilpres 2019. Fitnah, kabar bohong, hoax untuk Jokowi dan Ahok bebas saja disebarkan di medsos. Kita semua sudah mendengar berbagai tuduhan berikut: PKI, agen asing, agen Cina, penista agama, planga-plongo, tukang hutang. Semua bebas saja dilemparkan waktu itu. Jokowi di setiap pilpres selalu hampir kalah di minggu-minggu terakhir sebelum pencoblosan. Tentu itu erat kaitannya dengan fitnah yang disebarkan melalui medsos.

WhatsApp yang semakin populer sejak muncul di Indonesia sekitar tahun 2011, sekarang menjadi tempat yang paling bagus untuk menyebarkan informasi sesat, terutama ke dalam berbagai grup tertutup. Anggotanya sudah pasti menutup diri dari informasi lain. Sehingga kita bisa melihat ada jutaan orang yang nyaris tidak mungkin bisa dipengaruhi, karena mereka hanya menerima informasi sepihak saja yang masuk ke berbagai grup tertutup yang mereka ikuti, seperti di WA, FB, IG, dan lain-lain.

Itu sebabnya beberapa tahun terakhir ini muncul gerakan mewaspadai dampak buruk medsos yang diinisiasi oleh para pendiri medsos sendiri seperti Google, FB, IG, Twitter, dll. Tristan Harris (sebelumnya design ethicist at Google) adalah salah satunya. Mereka menyebut dampak terburuk dari medsos adalah mengakselerasi kecepatan informasi sesat 6 kali lebih cepat daripada informasi yang valid atau benar.

Itu kita lihat sendiri dan membuat kita sering bertanya, mengapa ada banyak orang yang tidak mampu memilah informasi, apakah itu informasi sesat, valid atau terkonfirmasi. Contoh bahwa informasi itu begitu deras meracuni pengguna medsos terlihat saat Putin mengagresi Ukraina. Tidak sedikit orang Indonesia yang mengidolakan Putin tanpa memverifikasi informasi yang melintas di akun-akun medsos mereka.  Bahkan Putin disebut pembela agama mereka. Sungguh gila.

Sebuah documentary yang dirilis oleh Netflix baru-baru ini menjelaskan bahaya itu di "The Social Dillema". Nonton aja. Anda pasti akan merasa ngeri melihat apa bahaya medsos itu, terutama bahaya medsos jika digunakan oleh mereka (kelompok) yang punya uang banyak untuk tujuan politik yang sempit atau berbahaya. Mereka itu yang dikenal sebagai bohir bagi para buzzer. Tristan Harris yang menjadi salah satu tokoh utama dalam documentary itu menyebut beberapa contoh tentang bagaimana beberapa negara yang "berantakan" gara-gara dampak buruk medsos.

Di Indonesia ancaman bahaya itu menjadi berlipat dua, karena kita sudah saksikan sendiri bagaimana politisasi agama digunakan di medsos di tahun 2014, 2017, dan 2019.

Seperti sudah saya sebut di artikel saya sebelumnya, kita semua harus berhati-hati dalam menuju tahun politik 2024. Dampak buruk medsos sudah dibahas di mana-mana di seluruh dunia oleh para ahli, sehingga kita semua mesti duduk bersama untuk membicarakan satu protokol penggunaan medsos di Indonesia.

M. Jojo Rahardjo

Menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience sejak 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline