Tak banyak yang menyadari, bahwa memahami narcissism cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Berurusan dengan seorang yang narcissistic di lingkungan kerja atau di manapun, termasuk di rumah sendiri, bisa menguras energi atau memberi negativity yang cukup besar atau bahkan bisa merusak hidup kita.
Yang juga tidak disadari banyak orang adalah, mereka yang memiliki ciri narcissist bisa menimbulkan bencana kemanusiaan dalam skala nasional atau dunia.
Bagaimana strategi untuk menghadapi mereka?
Jika kita mendalami catatan sejarah, ada banyak pemimpin atau tokoh dunia yang memiliki ciri narcissist. Mereka adalah tokoh yang sering menumpahkan darah atau perang, namun dalam catatan sejarah disebut sebagai tokoh besar, atau seorang penakluk, atau juga seorang pemimpin besar. Mereka itu termasuk spritualis, orang suci, atau utusan dewa ini atau dewi itu. Mereka mendapat sebutan-sebutan yang bernada positif.
Padahal "pemimpin" dunia dengan ciri narcissist itu telah membuat korban tewas hingga puluhan juta orang, seperti Hitler, Alexander the Great, dan lainnya. Indonesia tak ketinggalan juga memiliki catatan sejarah pernah memiliki tokoh besar yang narcissistic.
Setelah puluhan tahun berlalu sejak selesainya Perang Dunia II di tahun 1945, rata-rata pemerintahan di dunia memiliki anggaran militer sekitar 3% saja dari GDP. Padahal saat PD II baru saja berakhir, anggaran itu berjumlah hingga lebih dari 50%. Jika anggaran militer tidak terlalu besar, maka anggaran itu dialokasikan untuk menciptakan lapangan kerja, memberi layanan kesehatan, pendidikan, mengentaskan kemiskinan, membangun ekonomi, mengembangkan teknologi dan sains, mencegah global warming dan climate change, dan lain-lain yang berorientasi pada kepentingan masyarakat atau kemanusiaan.
Semua itu akan menghasilkan negara yang sejahtera, bukan negara yang selalu berada dalam situasi konflik (antar kelompok, antar partai politik, antar ras/suku) atau situasi perang yang memberi penderitaan bagi masyarakat sebagaimana yang dihasilkan oleh pemimpin dengan ciri narcissist.
Para tokoh narcissistic mampu atau tega memanipulasi masyarakat untuk mengubah anggaran itu supaya diperuntukkan untuk perang yang menumpahkan darah atau masyarakat dibuat tidak produktif dan akhirnya tertinggal jauh dengan negeri-negeri lain.
Pemimpin narcissistic yang lain akan membuat anggaran yang begitu besar hanya dialokasikan untuk mempertahankan kekuasaannya semata. Uang dihambur-hamburkan untuk "menyuap" berbagai pihak agar kekuasaannya tidak terganggu. Itu kita lihat sendiri dilakukan oleh bupati, walikota atau gubernur beberapa provinsi di Indonesia.
Jadi, narcissism memang harus diwaspadai oleh semua orang dengan cara memahami sepak terjang narcissist. Jangan sampai narcissism dibiarkan berkembang dan orang dengan ciri narcissist memanfaatkan demokrasi untuk tujuan yang justru merugikan masyarakat melalui pemilu, pilkada, atau pilpres.