Kalo kita baca kamus, tolerance itu punya konotasi berat, tidak nyaman, karena harus rela dan diam melihat apa yang tidak kita sukai dari apa yang dilakukan orang lain. Jadi, tolerance itu bukan sesuatu yang indah.
Juga kalo kita lihat kamus, kata peace itu tidak berarti ada keindahan di dalamnya, bahkan peace harus diupayakan dengan kerja keras. Makanya ada istilah peace keeper.
Tolerance dan peace memang ranah pemerintah, bukan ranah masyarakat, karena pemerintah yang harus mengupayakan tolerance dan peace bagi masyarakat.
Hal itu mengingatkan saya pada Siddartha Gautama. Neuroscientists di masa sekarang menyebut Siddartha di masa 2500 tahun lalu sudah mendalami science of mind.
Siddartha sudah mendalami bahwa pikiran cenderung menerawang atau berkelana kesana-kemari, ke masa lalu & ke masa depan, namun hasilnya adalah pikiran "negatif" atau penderitaan (stress, menurut neuroscience).
Penderitaan membuat orang menjadi cenderung pada pikiran "jahat" atau yang tidak mulia. Itulah dampak dari kecenderungan pikiran yang menurut neuroscientists di masa sekarang adalah mind-wandering.
2500 tahun lalu, ternyata Siddartha telah menemukan cara untuk menurunkan dampak dari mind-wandering, juga cara untuk menurunkan tingkat kecenderungan untuk melakukan mind-wandering, yaitu dengan melakukan meditasi.
Hasil meditasi yang diajarkan oleh Siddartha itu telah diteliti secara luas oleh banyak para neuroscientists. Hasil dari riset yang dilakukan sepanjang 3 dekade terakhir memang terbukti apa yang sudah disampaikan 2500 tahun lalu, yaitu membuat orang menjadi cenderung netral melihat apapun.
Artinya ia akan memiliki tolerance melihat apapun yang diperbuat orang lain. Ia akan menjaadi orang yang lebih peaceful.
M. Jojo Rahardjo