Pandemi COVID-19 mendorong munculnya gelombang depresi di mana-mana, padahal depresi merusak otak. Depresi adalah situasi stres yang berat, terlalu lama atau berulang-ulang.
Mungkin peringatan tentang gelombang depresi itu sudah sering kita dengar. Tapi apakah kita benar-benar menyadari tentang apa bahayanya?
Padahal, beberapa kajian ilmiah menyebutkan gangguan mental yang ditimbulkan oleh wabah SARS dan MERS beberapa tahun lalu itu masih bisa dirasakan sampai beberapa tahun. Padahal SARS dan MERS bukan pandemi tetapi cuma wabah yang tidak global. Sedangkan COVID-19 ini adalah pandemi atau wabah global.
Salah satu bagian otak yang terganggu di otak adalah di memory centers atau hippocampus yang volumenya menyusut.
Padahal ini adalah bagian otak yang bertanggungjawab pada bekerjanya memori dan emotions. Tanpa memori yang baik dan emotions yang baik, otak akan sulit untuk berfungsi maksimal.
Tentu itu dampak depresi yang serius. Kita melihatnya sekarang: Ivermectin yang hanya untuk obat cacing pun, didorong oleh beberapa orang yang memiliki pengaruh di masyarakat untuk menjadikan Ivermectin sebagai obat COVID-19. Padahal belum ada uji klinisnya, atau belum ada riset sainsnya untuk mengukur: 1. Apakah benar bisa menjadi obat COVID-19, 2. Efek samping yang ditimbulkan, 3. Dosis yang tepat. Riset sains yang tidak relevan pun mereka jadikan referensi.
Untungnya sains telah banyak melakukan riset seputar depresi sepanjang 3 dekade terakhir.
Salah satu cara mengatasi depresi adalah dengan berolahraga di luar rumah.
Tentu itu bukan satu-satunya cara mengatasi gelombang depresi itu. Meditasi, bersyukur, berbuat kebajikan, membangun relationships juga cara yang praktis, murah dan sudah diuji oleh sains.
M. Jojo Rahardjo