Covid-19 bukan pandemi virus pertama di dunia. Tahun 1918-1919, dunia diserang virus secara global (pandemi) dan diberinama Spanish Flu. Jumlah korbannya mencapai lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Apakah jumlah korban tewas Covid-19 akan menyamai Spanish Flu?
Saat pandemi Spanish Flu melanda, korban tewas di Dutch East Indies (nama Indonesia saat itu) berjumlah 1,5 juta orang. Sebagian besar korban ada di pulau Jawa yang sejak lama adalah pulau terpadat di Indonesia. Sebagaimana di berbagai tempat di dunia, Indonesia juga mengalami second wave di mana korban lebih banyak saat second wave.
Mengapa jumlah korban di Indonesia begitu besar? Menurut beberapa laporan yang ditulis, angka korban yang begitu besar di Dutch East Indies disebabkan oleh kurang tanggapnya pemerintah Belanda saat itu dalam menangani kesehatan masyarakat. Seorang dokter saat itu, Dr. Abdoel Rivai menggambarkan pandemi Spanish Flu di Indonesia itu seperti ini:
Orang-orang tewas seperti tikus. Sungguh tak bisa diterima, angka korban tewas bisa lebih dari sejuta hanya dalam beberapa bulan saja. Setelah pandemi mereda, barulah pemerintah menerbitkan aturan, panduan atau poster untuk masyarakat luas. Namun itu too little, too late (baca: ini).
Sekarang dunia juga dilanda pandemi virus, yaitu Covid-19. Apakah Indonesia juga akan mengulangi tragedi yang sama seperti saat Spanish Flu terjadi di Indonesia.
Saat tulisan ini dibuat, angka korban terinfeksi Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 100 ribu orang. Namun secara global, berdasarkan total kasus per 1 juta populasi, Indonesia "hanya" menempati urutan ke 142 dari 215 negara. Khusus di Asia, Indonesia "hanya" berada di urutan ke 28 dari 49 negara.
Meski angka tersebut angka yang "melegakan" namun pemerintah masih harus terus waspada. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo telah menugaskan untuk melakukan upaya sosialisasi dan komunikasi yang lebih efektif. Ini bertujuan untuk menghentikan laju penularan, khususnya diprioritaskan di delapan provinsi yang akan terinfeksinya besar. Menurutnya, langkah tersebut dapat terwujud melalui kolaborasi penta-helix berbasis komunitas.
"Perlunya perubahan perilaku dengan sosialisasi dan komunikasi yang lebih efektif. Satgas akan meningkatkan kolaborasi penta-helix berbasis komunitas dengan menitikberatkan kepada peran tokoh-tokoh di daerah. Termasuk tokoh agama, tokoh, masyarakat, termasuk melibatkan juga antropolog, sosiolog dan psikolog," ujar Doni dalam keterangan pers di Graha BNPB, Jakarta, dilansir suaramerdeka.com, Senin (27/7).
Kesehatan memang penting, karena kesehatan yang baik akan mendukung aktivitas ekonomi yang baik. Sebaliknya, biaya kesehatan tidak murah, sehingga perlu dukungan ekonomi yang baik.
Semoga pemerintah selalu berupaya untuk bersama seluruh lapisan masyarakat menghadapi COVID-19 ini. Semoga pemerintah juga mulai fokus pada upaya meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat dengan memanfaatkan berbagai hasil penelitian neuroscience atau positive psychology sepanjang lebih dari 2 dekade terakhir.