Lihat ke Halaman Asli

M. Jojo Rahardjo

Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Ini yang Sesungguhnya Terjadi pada Joker Menurut Neuroscience

Diperbarui: 10 Oktober 2019   05:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: empireonline.com

Tahun 1981. Gotham City adalah kota di mana yang kaya semakin kaya, namun yang miskin semakin miskin. Banyak bagian kota yang kumuh tak terurus. Arthur Fleck (Joker) hidup di dalamnya menjadi badut dan stand up comedian yang tak sukses alias gagal.

Film dibuka dengan adegan di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang ganti dan ruang rias untuk para pekerja teater. Seseorang terlihat sedang merias wajahnya menjadi badut. Ruang ganti itu terlihat sederhana atau bahkan terlihat kumuh. Sejak awal film ini memang menggambarkan sudut-sudut kehidupan yang terabaikan di kota besar.

Joaquin Phoenix yang memerankan tokoh Joker terkenal sering memainkan tokoh "sakit" dalam berbagai filmnya. Aktingnya di film Joker ini mendapat pujian di Venice Film Festival. Ada 2 nama besar lain yang membuat film ini memang layak untuk ditonton (khusus untuk orang dewasa), yaitu Robert De Niro dan Bradley Cooper (produser). Film Joker dirilis di Indonesia dalam waktu bersamaan dengan di Amerika.

Apakah Joker seorang yang jahat? Apakah penderitaan dan kekerasan yang dialami Joker sejak kecil mendorong kejahatan yang dilakukan Joker? Mengapa Joker membunuh dengan mudah? Apakah ada Joker di sekitar kita yang siap membunuh? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul di kepala penonton setelah menyaksikan film ini.

Di bagian menjelang akhir film, Joker digambarkan pernah disiksa saat ia masih kecil. Kepalanya pernah terluka parah karena pukulan. Tampaknya otaknya juga mengalami cedera. Itu salah satu sebab mengapa Joker sepanjang hidup harus menjalani terapi beberapa obat psychoactive sekaligus setiap hari dan menjalani terapi konseling sepanjang hidupnya. 

Namun persis saat Joker mengalami tekanan hidup yang semakin keras, yaitu karena gagal dalam karirnya sebagai badut atau sebagai stand up comedian, pemerintah setempat (karena kekurangan anggaran) menyetop tunjangan kesehatan warganya, termasuk Joker. Lalu Joker tak bisa lagi mengakses terapi obat-obatan yang diperlukan otaknya. Padahal tanpa obat-obatan itu otak Joker tak akan bisa berfungsi normal.

Menurut neuroscience jika otak kita dalam kondisi positif, maka fungsi otak kita akan baik juga. Semakin positif kondisi otak kita, maka otak akan lebih cerdas, lebih punya solusi, lebih kreatif, lebih inovatif, tahan stres atau depresi (mudah kembali pulih), bahkan otak kita akan lebih cenderung pada kebajikan.

Neuroscience memang telah sampai pada tingkat bisa menjelaskan kerja otak dan pengaruhnya terutama pada perilaku, juga kecerdasan dan kesehatan tubuh. Itu adalah hasil setelah neuroscience melakukan penelitian sepanjang lebih dari 2 dekade terakhir dengan menggunakan teknologi modern, seperti fMRI.

Kita sering membaca atau mendengar, bahwa masa kecil yang tak bahagia, apalagi kehidupan yang keras atau penuh tekanan akan membuat orang menjadi jahat atau keras pada orang lain. Penjelasan neuroscience adalah: lingkungan sekitar kita yang buruk atau lingkungan yang menghasilkan penderitaan atau tekanan akan membuat otak kita dalam kondisi negatif. 

Otak kurang atau tidak terdorong untuk mendapatkan cukup hormon-hormon yang baik seperti endorphins, dopamine, serotonin, oxytocin, dan lain-lain yang bermanfaat untuk menjadikan otak dalam kondisi positif. Otak bahkan hanya sering mendapat pasokan cortisol (hormon stres atau depresi) yang membuat otak tidak cerdas, tidak punya solusi, tidak kreatif, tidak inovatif, mudah stres dan depresi, bahkan cenderung pada yang bukan kebajikan.

Itu sebabnya Joker harus terus menelan obat-obat psychoactive yang bisa membantu kondisi otaknya agar terjaga untuk positif. Adegan-adegan Joker mendapat penanganan ahli jiwa memang sengaja ditonjolkan oleh sutradara dan penulis cerita (co-wrote) film ini, Todd Phillips, untuk memberi pesan bahwa mental illness memang harus mendapat perawatan. Demikian dikatakannya dalam sebuah wawancara. Mungkin ia terinspirasi dari data WHO, bahwa 300 juta orang di dunia menderita mental illness, namun tak mendapatkan perawatan yang memadai, karena rata-rata pemerintah di dunia hanya menyediakan 3% saja anggaran untuk kesehatan mental masyarakatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline