Lihat ke Halaman Asli

M. Jojo Rahardjo

Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sekali Lagi Tentang Kebahagiaan

Diperbarui: 16 November 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo: International Society for Coaching Psychology"][/caption]

Dr. William Compton dalam bukunya "An Introduction to Positive Psychology" mendefinisikan positive psychology sebagai "Menjadikan hidup yang normal menjadi lebih berharga". Positive psychology menggunakan metode ilmiah untuk mempelajari berbagai aspek dari perilaku yang membuat otak bisa bekerja lebih maksimal. 

Positive psychology bukan psychology yang dahulu lebih fokus mempelajari apa yang negative pada otak (kejiwaan). Namun positive psychology mempelajari bagaimana mengembangkan apa yang positive pada otak. Itu sebabnya positive psychology sering menyebut kebahagiaan dengan kata positivity, karena kebahagiaan hanya sebuah bagian dari positivity

Cobalah tanya kepada beberapa orang apa pendapat mereka tentang kebahagiaan. Kebanyakan mereka akan menjawab secara filosofis atau religius. Ada yang menjawab, kebahagiaan itu adalah berhasil mencapai apa yang kita cita-citakan. Kebahagiaan itu adalah menjadi kaya-raya. Kebahagiaan itu menjadi orang yang baik. Kebahagiaan itu bisa memberi kepada yang membutuhkan. Kebahagiaan itu beribadah kepada Tuhan. Kebahagiaan itu adalah hari Sabtu dan Minggu. Kebahagiaan itu liburan lebaran. Kebahagiaan itu liburan akhir tahun. Dan lain-lain. 

Namun positivity menurut neuroscientist dan positive psychologist adalah: Sebuah kondisi otak yang positif yang disebabkan oleh peristiwa di luar diri kita atau apa-apa yang kita lakukan. Di bawah ini adalah daftar temuan neuroscience yang berkaitan dengan positivity.

1. Besarnya penghasilan tidak menjamin mendapatkan positivity. Namun jika memanfaatkan positive psychology, kita bisa membeli positivity (lihat artikel saya sebelumnya). Harvard Business School meneliti kaitan besarnya penghasilan dan positivity dan menemukan bahwa saat kebutuhan dasar belum terpenuhi, maka orang cenderung menganggap, bahwa income yang besar bisa mendatangkan positivity. Padahal pengetahuan orang hanya sedikit tentang bagaimana menggunakan uang untuk mendapatkan positivity.

Membelanjakan uang untuk memiliki pengalaman hidup yang lebih luas akan memberikan positivity yang lebih besar dibanding membelajakan uang untuk memiliki barang barang konsumtif. University Pennsylvania telah meneliti faktor yang paling mempengaruhi dalam mendapatkan kebahagiaan (positivity). Mengajak (traktir) teman untuk makan siang, mengajak teman menonton film atau jalan-jalan ternyata lebih memberi positivity daripada membeli barang-barang konsumtif yang hanya digunakan untuk diri sendiri.

3. Berterimakasih. University of Pennsylvania dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap mudah berterimakasih pada orang-orang sekeliling kita menyumbang positivity

4. Claremont Graduate University meneliti kaitan hormon oxytocin dengan kebajikan. Ternyata saat kita melakukan kebajikan hormon ini keluar, begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya sebagian dari kita cenderung pada perilaku manusiawi, empathy atau cenderung berbuat baik kepada apa atau siapapun.

5. Positivity menular. University of California, San Diego meneliti orang-orang yang dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki positivity. Ternyata setelah beberapa saat, orang-orang ini juga memiliki positivity

6. University of Bristol menemukan dalam risetnya mood menjadi lebih baik setelah berolah-raga dan mereka juga bekerja lebih baik dan lebih produktif di tempat kerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline