Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Kewarasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MENIMBANG KEWARASAN.

BRODIN BERHENTI DI DEKAT BAK SAMPAH, SEKITAR TUJUH METER DARI HALTE, tempat dia biasa menunggu datangnya biskota. Begitu dia berhenti, lengking peluit menyambar telinganya. Dia tak acuh saja. Dikiranya itu cuma peluit tukang parkir yang ada di sekitar situ. Tetapi, sial betul, lengking peluit itu terus saja menyambari telinganya. Dia pun mulai merasa risih, kemudian malah terganggu. Jadi ingin tahu dia, siapa orang yang getol meniupi peluit itu dan untuk apa.

Ketika dia menoleh ke kiri, dia lihat si peniup peluit itu. Seorang laki-laki berseragam satpol, berdiri di halte dengan kaki agak dikangkangkan. Tangan kiri bertelekan di kopelrim. Tangan kanan memegang peluit. Wajahnya nampak sangar, terutama karena kumisnya yang tebal melintang.

Begitu berserobok pandang dengan Brodin, satpol itu melambaikan tangan, menyuruh Brodin datang hampir. Walau hatinya bertanya-tanya, dia tak melihat jalan lain, kecuali datang hampir. Dengan langkah agak gamang, dia melangkah ke halte. Dan baru ketika itulah dia sadari, betapa banyaknya orang yang berkumpul di halte itu, sampai berdesak-desakan. Tadi itu, rupanya cuma dia seorang yang berada di luar halte. Padahal, biasanya, pada saat-saat bubar kantor seperti ini, sekitar halte selalu dipenuhi kumpulan manusia aneka jenis dan tongkrongan. Dengan rata-rata bersikap tak sabar, mereka menunggu kedatangan biskota atau jenis angkot lainnya. Kalau yang ditunggu datang, mereka berebutan menaikinya, sambil melupakan segala macam tatakrama atau kebiasaan baik dan beradab lainnya. Yang penting, diri terangkut. Hal yang berbeda sekali dengan sikap mereka sekarang, yang nampak amat santun, beradab dan sabar menunggu di halte, sambil berdesak-desakan.

Setelah Brodin berada di hadapannya, sang satpol tanpa basabasi langsung berkoar, “Tempat yang paling tepat untuk menunggu bis adalah di haltenya, Pak. Bukan di tempat lain. Apalagi di tempat yang dekat dengan bak sampah. Itu kan tempat kotor, Pak, bisa menjadi sumber penyakit. Bapak ini kan bukan anak-anak lagi. Rambut Bapak saja sudah berwarna dua. Dengan adanya uban, kata orang, bisa membuat pemiliknya jadi makhluk yang lebih arif. Maka, mestinya, tanpa perlu diberi tahu, Bapak sudah harus tahu, apa yang pantas, apa yang tidak pantas. Seperti, misalnya, di mana seharusnya menunggu bis. Secara pikiran sehat saja, tempat yang paling tepat, ya, di halte ini. Tak ada tempat lain. Jangan di tempat lain. Apalagi di tempat yang tidak pantas. Bapak tentunya tahu, halte ini dibangun dengan biaya tidak sedikit, sehingga perlu dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Tidak untuk diabaikan atau disia-siakan. Tidak untuk dibiarkan kosong melompong. Cuma menjadi semacam tempat yang tak berguna, yang mubazir. Padahal kemubaziran itu kan sesuatu yang sangat dicela agama. Al mubaziru ikhwanus syaithan, kemubaziran itu sahabat setan. Saya kira, sebagai orang yang sudah lebih tua, pengetahuan dan penghayatan Bapak terhadap agama pasti sudah lebih baik katimbang saya. Silakan Bapak periksa sendiri, apakah yang saya katakan tentang kemubaziran itu benar atau tidak. Tetapi saya sendiri yakin, saya benar. Dan saya adalah orang yang siap mempertahankan mati-matian apa yang saya yakini benar, Pak.”

Brodin terhenyak mendengar “pengarahan” yang amat tajam menohok dan memojokkan itu. Dadanya jadi penuh sesak oleh rasa marah, kesal, jengkel, malu dan entah apa lagi. Cobalah bayangkan, orang yang sudah setua dia dikata-katai di depan umum seperti itu! Harga dirinya serasa diinjak-injak sampai lumat hancur lebur. Entah kemana dia harus menyurukkan muka. Satpol bajingan! dia merutuk dalam hati. Seenaknya saja kamu mengata-ngatai orang kayak gitu. Kamu besar-besarkan persoalan yang sebenarnya sepele. Cuma karena aku tidak menunggu bis di halte saja, kamu lalu omong macam-macam. Kasih komentar yang tidak karuan juntrungannya. Sebetulnya, apa sih susahnya bagi kamu untuk bilang, Pak, kalau menunggu bis, supaya di halte saja. Begitu saja sudah cukup. Persoalan selesai. Tidak usah omong panjang lebar. Tidak usah membawa-bawa uban segala. Tidak usah menyebut-nyebut agama segala. Sok suci kamu, ya? Sepertinya kamu itu siapa, sih? Malaikat? Orang yang tidak pernah berbuat salah? Selalu berbuat suci? Sialan kamu! Hei, coba saja kamu tidak berseragam satpol, tahu rasa kamu! Akan kuhajar kamu, sampai menggeloso di tanah! Kamu harus sadari, aku ini bukan orang yang punya semangat tempe, tahu? Biar setahun lagi aku akan MPP, jangan kira aku jeri menghadapi kamu. Tetapi, itulah, aku sangat menghargai seragam yang kamu pakai. Dengan memakai seragam itu, bagaimana pun juga, kamu sudah jadi petugas, pengemban misi tertentu. Sayangnya, kamu sendiri yang nampaknya tidak menyadari itu. Kamu jadi orang yang tidak tahu diri. Sialan kamu! Setan kamu! Orang tua dibuat sembarangan. Dikata-katai seenak perutnya. Lihat saja nanti, pasti akan kualat kamu!

Dengan wajah ditundukkan, Brodin mencoba menyelinap di antara kerumunan orang di halte itu. Dia ingin menempatkan diri di barisan paling belakang. Hendak mendinginkan hati dan kepalanya. Tetapi baru saja dia melangkah, sang satpol menggamit bahunya. Dia pun terhenti. Mau tak mau dia harus membalikkan badannya lagi, kembali bertatap muka dengan “bajingan” itu. Dadanya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat. Rasa panas serasa mengisi seluruh rongga dadanya. Tetapi seragam satpol itu memang betul-betul ampuh. Maka gemuruh yang sangat itu tetap cuma menjadi gemuruh yang sangat saja.

“Jangan salah terima dengan apa yang saya katakan tadi, Pak,” sang satpol buka mulut lagi. “Maksud dan tujuan saya baik. Ya, supaya kita ini terbiasa dengan tatalaku sebagaimana mestinya. Tidak ngawur. Tidak serobotan. Tidak suka melanggar disiplin. Tidak suka melanggar norma-norma yang baik, yang mulia. Dan jangan sekali-kali melanggar hukum. Apa jadinya bangsa dan negara kita ini, Pak, kalau hal-hal buruk, hal-hal yang negatif seperti itu diberikan keleluasaan. Apalagi kalau sampai dibiarkan berkembang. Celaka kita, Pak. Hancur lebur kita, Pak. Kayak apa pun hebatnya hasil pembangunan yang kita capai, kalau tanpa disiplin yang handal, semua tak akan ada artinya. Malah mungkin jadi penyebab kekacaubalauan yang tak dapat kita kirakan, karena semua orang akan bertindak sesuka hatinya sendiri. Saya yakin, tidak ada seorang pun di antara kita yang menghendaki terjadinya hal seperti itu. Tetapi toh selalu ada kemungkinan, malah kemungkinan besar, hal seperti itu akan terjadi juga. Maka harus diantisipasi. Sebagai orang yang berkiprah di bidang kamtib, bidang keamanan dan ketertiban, saya merasa terpanggil dan terdorong untuk berpartisipasi, berperanserta, dalam melakukan antisipasi itu. Dan itulah yang saya lakukan sekarang. Salah satu pengejawantahannya adalah apa yang Bapak alami tadi. Kelihatannya saya lakulajak dan ceriwis, ya, Pak? Gara-gara Bapak tidak mengunggu bis di halte, saya jadi ribut setengah mati. Begitu, kan, pikiran Bapak? Tetapi, itulah, Pak, disiplin itu harus dimulai dari hal yang kecil-kecil dulu. Yang kelihatannya sepele. Tidak berarti. Maksudnya, supaya pembiasaannya mudah. Pokok pangkal disiplin itu memanglah pembiasaan, Pak. Seperti kata pepatah jadul, Alah bisa karena biasa. Kita mulai pembinaan disiplin itu dari diri kita sendiri. Lalu ditularkan kepada keluarga. Kemudian diluaskan ke masyarakat. Akhirnya dikembangkan kepada seluruh bangsa. Sehingga jadilah apa yang disebut disiplin nasional. Suatu bangsa dengan disiplin nasional yang teguh mantap, pasti akan menjadi bangsa yang bergengsi, Pak. Pasti akan dikagumi oleh orang-orang dari luar sana. Tetapi, itulah, semua harus dimulai dari yang kecil-kecil dan sederhana dulu. Seperti, ya, yang sedang kita jalankan sekarang ini. Menunggu bis, ya, harus di haltenya. Kalau nanti mau membuang sampah, ya, harus dibuang ke tempat sampah. Bila mau menyeberang jalan, carilah zebracross atau jembatan penyeberangan. Juga tidak seenaknya menyerobot lampu lalulintas, mentang-mentang tidak ada polisi. Dan masih banyak hal-hal lain, yang sebetulnya tidak terlalu sukar diikuti atau dilaksanakan. Yang dibutuhkan cuma sedikit kesadaran, sedikit kehendak baik dan sedikit tekad serta kemauan. Itu saja. Sayang, masih banyak orang yang melalaikannya. Dan disinilah saya terpaksa bertindak. Seperti yang saya lakukan terhadap Bapak tadi. Semoga sekarang Bapak dapat memaklumi tindakan saya itu. Semata-mata demi kebaikan, yang sama-sama jadi dambaan kita. Saya percaya, Bapak tidak akan kecewa atau sakit hati. Anggaplah ini sebagai semacam terapi kejut atau shocktherapy. Yang saya harapkan, setelah hari ini, Bapak tidak akan lupa lagi, tempat yang paling tepat untuk menunggu bis, adalah di haltenya. Setuju, kan, Pak?” sang satpol mengulurkan tangannya, sambil tersenyum lebar. Brodin tak bisa menolak uluran tangan itu.

Diam-diam, Brodin mulai memikirkan sang satpol. Agaknya dia ini bukan satpol sekadar satpol. Dengar saja cara bicaranya yang mantap, lancar, runtut dan – terutama – isi bicaranya. Sangat mirip dengan omongan orang-orang pintar yang dilihatnya di teve atau dibacanya di koran-koran. Jangan-jangan, sang satpol ini sebenarnya seorang pejabat yang sedang blusukan memantau keadaan, pikir Brodin. Mungkin dia tidak puas kalau cuma menerima laporan atau mendengar cerita dari orang lain. Dia merasa perlu terjun langsung ke lapangan. Brodin setuju sekali dengan cara blusukan begini, demi mendapatkan fakta yang sebenar-benar fakta. Maklum, laporan bisa saja ditukangi dengan dandanan macam-macam, sehingga nampak bagus, cantik dan harum.

Sementara itu, sang satpol tak capek-capeknya memberi “petunjuk” dan “pengarahan”. Peluitnya tak henti melengking, bila ada biskota atau angkot yang terlalu lama berhenti di halte untuk menjaring lebih banyak penumpang. Akibatnya, arus lalulintas terganggu. Berkali-kali dia naik turun biskota, omong-omong langsung dengan para pengemudi, kadang-kadang santai, kadang-kadang dengan pelototan mata dan gerak tangan emosional. Dan ada hasil nyatanya. Lihatlah, betapa tertibnya sekarang keadaan di halte dan sekitarnya. Tidak ada lagi biskota atau angkot yang berhenti enaknya di sembarang tempat. Atau menunggu muatan sampai belasan menit, membuat para penumpangnya merasa jadi udang yang direbus. Atau dimuati sampai penuh sesak, berdesak-desakan seperti ikan pindang dalam keranjangnya.

Mau tak mau, Brodin menaruh respek kepada sang satpol. Inilah contoh dari pribadi yang tidak cuma bisa omong, tetapi langsung melakukan apa yang diomongkannya itu, puji Brodin dalam hati. Sungguh sudah sukar dan langka di jaman ini menemukan pribadi seperti itu.

SAYANG, KEADAAN KEMUDIAN JADI JUMPALITAN, SAAT SEBUAH AMBULANS muncul. Sang satpol yang tegar dan mantap sikapnya itu, tiba-tiba jadi panik, sangat panik, begitu melihat kemunculan ambulans itu. Dan dia lalu melakukan sesuatu, yang pasti tak terbayangkan oleh orang-orang yang berkumpul di halte itu akan dilakukan sang satpol. Lihat, sang satpol lari terbirit-birit, menuju ke sebuah gerobak pedagang rokok, lalu menyembunyikan diri di belakangnya. Semua yang menyaksikan kejadian itu jadi terpana.

Dari ambulans itu turun seorang dokter perempuan dan seorang perawat laki-laki yang tegap badannya. Mereka hampiri gerobak pedagang rokok itu, satu dari sisi kiri, satu dari sisi kanan. Dengan mudah sang satpol tercekal. Tetapi rupanya dia ini tak mau menyerah dengan begitu saja. Dia memberontak, terlepas, lalu melarikan diri. Ternyata tidak jauh larinya. Dia hanya menuju ke tiang listerik, sekitar lima meter dari gerobak, lalu mencoba memanjatnya. Gagal! Tiang listerik dari beton itu terlalu licin. Tak mungkin dipanjat. Akhirnya sang satpol hanya memeluk tiang itu, dengan sangat erat, seakan tak mau melepaskannya lagi.

Orang-orang di halte melihati semua yang terjadi itu dengan perasaan campur aduk, kacau balau. Baru saja mereka menyaksikan kehadiran sang satpol sebagai tokoh yang tegas, berwibawa dan tak kenal kompromi, lalu sekarang mereka disuguhi pemandangan yang luar biasa kocak seperti itu. Alangkah jungkirbaliknya keadaan!

“Kasihan dia,” terdengar celetukan tiba-tiba.

Orang-orang menoleh. Rupanya pengemudi ambulans itu diam-diam telah menggabung dengan kerumunan orang-orang itu.

“Siapa sih dia, Pak?” Brodin langsung menyambar.

“Namanya To’ing. Dia pasien bagian psikiatri di rumah sakit kami,” jelas si pengemudi.

“Bagian psikiatri?!? Waduh, itu kan bagian yang mengurusi orang-orang yang tidak beres jiwanya!” ulas seorang laki-laki yang berdandan rapi dan sangat berbau parfum, gaya bicaranya kewanita-wanitaan. “Jadi dia itu orang gila, dong!”

“Umumnya orang menyebut begitu. Tetapi sebutan yang lebih tepat sebetulnya penderita gangguan jiwa.”

“Aduh, tidak disangka, ya? Orangnya ganteng. Penampilannya persis satpol beneran,” ulas seorang ibu berseragam pegawai negeri.

“To’ing memang pernah jadi satpol beneran, Bu. Malah satpol jempolan.”

Pengemudi itu lantas cerita, dulunya To’ing adalah satpol yang diperbantukan untuk mengatur keamanan dan ketertiban lalulintas. Dia dikenal sangat tegas dan teguh menegakkan disiplin. Siapa saja yang melakukan pelanggaran, pasti akan diprosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dia tak pernah kenal apa yang dinamakan kompromi, denda damai atau semacamnya. Pendek kata, buat To’ing, semua pelanggaran harus diberikan ganjaran yang setimpal.

Tetapi sikap serius To’ing itu lama-lama membuat jiwa dan rohaninya lelah. Selain harus menghadapi rekan-rekannya sendiri, yang banyak tidak setuju dengan prinsipnya, dia pun harus menghadapi masyarakat yang bersikap makin lama makin amburadul. Lihat saja, disiplin pemakai jalan kian hari kian merosot. Orang tidak takut lagi menghadapi hukuman yang bakal dijatuhkan kepada dirinya, kalau melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Hukuman tidak membuat orang jera.

Sedikit demi sedikit, jiwa To’ing mulai tererosi. Kekecewaan berat menekan nuraninya. Tidak jelas betul, dia kecewa terhadap apa atau siapa. Apakah terhadap dirinya sendiri, yang tak mampu mengatasi keadaan, seperti yang ditugaskan kepadanya. Apakah terhadap mereka, yang seperti sengaja bersikap meremehkan peraturan, dengan berbuat semau-maunya. Yang jelas, sikap keseharian To’ing mulai berubah. Dia tidak lagi cuma sangat tegas, tetapi mulai keras. Makin lama makin keras. Akhirnya dia bertindak kasar, brutal. Dia tidak lagi semata-mata mengandalkan mulut dan peluitnya, tetapi pentungannya. Laporan dan protes bermunculan. Akhirnya dia ditarik dari jalanan, ditempatkan di pos. Tetapi keadaannya terus memburuk. Sampai akhirnya dia harus masuk perawatan di bagian psikiatri.

“Tetapi, itulah, To’ing seringkali berhasil meloloskan diri. Kalau sudah begitu, dia pasti akan kembali ke jalan, lalu bertindak seperti saat dia masih sehat. Kayak sekarang ini.”

TO’ING, SANG SATPOL, NAMPAK BERJALAN DIAPIT DOKTER DAN PERAWAT ITU. Rupanya dia sudah dapat ditenangkan. Matanya memandang mantap ke sekitar. Tak ada sikap salahtingkah. Bahkan bibirnya nampak senyum samar. Entah pikiran apa yang sedang seliweran di benaknya sekarang.

Ketika ambulans itu berlalu, bagai suara lebah digusur dari sarangnya, terdengar macam-macam gumam dan ulasan.

“Bukan main! Siapa yang sangka, dia itu orang gila! Busyet, dah!”

“Asyik juga sekali-sekali ketemu orang gila kayak gitu. Orang gila canggih namanya. Omongannya bermutu, lho!”

“Sialan! Kok kita mau-maunya diatur orang gila, ya?!?”

Maka bubarlah kerumunan orang-orang di halte itu. Ketertiban di sekitar halte itu kembali berantakan.======================================================

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline