Korupsi adalah kejahatan kemanusiaaan. Korupsi adalah puncak dari perbuatan yang disebut mencuri. Para pecuri, atau maling di rumah-rumah penduduk, sebagai kejahatan konvensional, paling-paling mendapatkan hasil curian jutaan atau puluhan juta rupiah. Para perampok, paling-paling mendapatkan uang hasil curian ratusan juta rupiah. Tetapi koruptor mendapatkan uang hasil korupsi bisa puluhan sampai ratus milyar rupiah.
Begawan Ekonomi Indonesia, alm. Soemitro Djojohadikoesoemo menyebutkan bahwa 30% APBN setiap tahunnya hilang disebabkan kejahatan korupsi. Artinya jika APBN bernilai Rp 2.000 triliun, maka Rp 650 triliun amblas dimakan para koruptor.
Perbuatan itu dilakukan aparat seluruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif bekerjasama dengan para pengusaha culas yang bersedia diajak bekerjasama menguras uang negara. Akibatnya, negara tidak mempunyai dana yang mencukupi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Negara tidak mempunyai dana untuk membangun infrastruktur ekonomi, yang sangat dibutuhkan rakyat, dan untuk peningkatan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Akan tetapi menurut Proklamator kita, Bung Hatta, korupsi tidak lagi bisa dicegah, manakala sudah sampai pada tahap korupsi sudah menjadi budaya. Pada waktu itu para koruptor sudah tidak takut lagi memamerkan hasil korupsi mereka. Bahkan korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan.
Pada kenyataannya korupsi memang sudah membudaya di negara kita, sudah berurat berakar. Bahkan korupsi dilakukan oleh orang-orang terpandang, dan sifatnya lintas agama, lintas etnis, lintas partai, dan lintas profesi.
Pada hal seluruh agama mengharamkan pemeluknya melakukan korupsi. Orang beragama, baik muslim, kristen, katolik, hindu, budha, konghucu, semuanya dilarang oleh agama masing-masing melakukan kejahatan korupsi. Akan tetapi para pejabat, legislator dan yudikator korup beserta pengusaha-pengusaha yang menjadi mitra mereka dalam melakukan kejahatan korupsi berasal dari berlatar belakang lintas agama. Mereka melanggar ajaran agama masing-masing. Dalam hal korupsi mereka tidak lagi meng-indahkan ajaran agama yang mereka anut.
Ada kiyai, pimpinan sebuah pondok pesantren di Madura yang terlibat korupsi ratusan milyar rupiah. Tetapi ada juga Ketua organisasi agama Budha yang masuk penjara karena menyuap pejabat. Ada orang Bali beragama Hindu yang juga ditangkap KPK. Tak terhitung jumlahnya koruptor anggota DPR/D dari lintas partai yang terlibat korupsi. Seluruh partai, baik partai nasionalis maupun partai agama, semuanya mempunyai kader yang masuk penjara gara-gara korupsi. Sejumlah rektor atau wakil rektor perguruan tinggi negeri juga mendekam di dalam penjara karena terlibat perkara korupsi.
Seringkali saya tidak habis pikir, bagaimana seseorang yang sudah masuk pada jajaran tokoh nasional masih tergoda untuk melakukan korupsi. Misalnya tokoh yang bernama Irman Gusman. Ia terkena OTT KPK, pada hal posisinya waktu itu adalah Ketua DPD-RI, sebuah lembaga legislatif yang sejajar kedudukannya dengan Ketua DPR-RI. Pada hal uang suap yanh diterimanya dari pengusaha distributor gula, tidak seberapa, hanya Rp 100 juta saja, tidak seimbang dengan kekayaan dan penghasilannya. Misalnya lagi, Akil Mochtar, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah lembaga tinggi negara di bidang hukum, yang menjadi pengawal konstitusi Indonesia. Perbuatannya diteladani oleh Patrialis Akbar, anggota hakim MK, tetapi memiliki nama besar sebagai mantan Menkumham.
Ada pula sejumlah menteri di era SBY yang masuk penjara karena korupsi, seperti Andi Mallarangeng, Jero Wacik, Suryadharma Ali, dan segera akan disusul oleh Siti Fadilah, mantan Menkes yang sekarang dalam proses persidangan di pengadilan Tipikor. Sebelumnya lagi, ada menteri agama (lagi) yang masuk penjara gara-gara korupsi. Ada juga mantan menteri kelautan dan perikanan yang sudah selesai menjalani hukuman di penjara karena korupsi. Sekarang ia sudah aktif kembali menjalani profesi awalnya sebagai guru besar (profesor) di IPB-Bogor.
Ternyata godaan untuk melakukan korupsi jauh lebih kuat dari pada nama besar dan terhormat yang disandang dan jabatan yang dipikul. Mereka tidak peduli lagi dengan ajaran agama yang dipeluk. Semuanya diabaikan karena si rupiah dan si dollar yang sangat seksi, yang bisa diwariskan untuk 7 keturunan, tanpa perlu bekerja keras.
Sebenarnya seluruh negara berjuang untuk memberantas korupsi di negara masing-masing, karena korupsi sudah menjadi penyakit yang melanda seluruh dunia. Beberapa negara berhasil menurunkan tingkat korupsinya. Tetapi sebagian besar, termasuk Indonesia tetap saja berada para posisi negata korupsi tertinggi di dunia.