Persidangan hari ketujuh Ahok dalam kasus tuduhan penghinaan agama Islam, menjadi panas. Panasnya bukan di dalam persidangan, tetapi di luar persidangan.
Persidangan itu menghadirkan KH. Ma’ruf Amin sebagai saksi. Ia menjadi saksi karena lembaga yang dipimpinnya, MUI, telah menerbitkan pendapat keagamaan, Ahok telah melakukan penghinaan terhadap agama Islam, khususnya terhadap al-Quran dan para ulama. Pengacara Ahok menilai penting kehadiran KH. Ma’ruf Amin, karena pendapat MUI yang dipimpinnya, yang menjadi pemicu 3 kali demo besar-besaran umat Islam, yang mendesak agar Ahok segera dihukum dan dijebloskan ke penjara.
Dari persidangan itu terungkap sejumlah fakta. Terbitnya pendapat keagamaan MUI tentang penginaan agama Islam antara lain karena desakan berbagai pihak. Tapi KH. Ma’ruf Amin tidak mau menjelaskan siapa saja pihak-pihak yang mendesaknya.
Terungkap pula fakta bahwa ternyata KH Ma’ruf Amin adalah juga politisi; pernah di PPP dan PKB. Kedua partai dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah pendukung Agus Harimurti dan Silvyana Murni (Agus-Silvy). Ia juga punya kedekatan dengan mantan Presiden SBY, karena ia diangkat menjadi anggota Watimpres waktu itu. Ia sempat menerima kedatangan AHY dan Silfy di Kantor PBNU, Jl. Kramat Raya, atas permintaan SBY.
Pengacara Ahok menanyakan kepada Saksi tentang pembicaraan via telpon dengan SBY dan isi pembicaraannya dengan SBY sebelum bertemu dengan AHY dan Silvy. Pengacara Ahok rupanya punya bukti isi pembicaraaan bahwa SBY mendesak KH. Ma’ruf Amin untuk segera menerbitkan fatwa atau pendapat keagamaan itu yang menyatakan Ahok telah melakukan penghinaan terhada agama Islam. Pendapat keagamaan MUI itu keluar sehari setelah pembicaraan via telpon itu.
KH. Ma’ruf Amin membantahnya. Ditanya berkali-kali, pak Kiyai tetap pada bantahannya. Akhirnya pengacara Ahok menyampaikan kepada Majelis Hakim, bahwa mereka akan menunjukkan bukti pembicaraan itu pada persidangan berikutnya. Dengan bukti tersebut, pengacara Ahok meminta Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Saksi telah menyampaikan kesaksian palsu, yang ada proses pidananya.
Hakim ketua Persidangan Ahok sempat menanyakan hal itu kepada KH. Ma’ruf Amin seraya mengingatkannya selaku Saksi, jika menyampaikan kesaksian palsu akan ada sanksinya secara pidana. Tetapi KH. Ma’ruf Amin bersikukuh dengan kesaksiannya.
Itulah persidangan yang menganut prinsip persamaan di hadapan hukum. Pertanyaan yang memojokkan saksi, jika tidak dilarang oleh Hakim ketua selaku pimpinan sidang, boleh-boleh saja diajukan. Tidak ada lagi panggilan Pak Kiyai, atau Pak Ketua, Pak Menteri, Pak Dirjen dan sebagainya. Semuanya diganti dengan panggilan seragam; Saudara Saksi, atau Saudara Terdakwa. Maka KH. Ma’ruf Amin yang selama ini sangat dihormati warga NU, dengan panggilan Pak Kiyai, harus bersedia menerima sebagai Saudara Saksi.
Akan tetapi di luar persidangan terjadi keriuhan. Ahok dan pengacaranya dinilai telah melecehkan ulama. Para tokoh NU marah karena Ahok tidak menghormati KH Ma’ruf Amin yang tidak lain adalah Rois ‘Am NU, pemimpin tertinggi ormas NU. KH Said Agil Siraj menganjurkan warga MU tidak memilih Ahok dalam Pilkada DKI yang akan segera digelar. Tokoh NU lain, KH. Salahuddin Wahid yang dikenal dengan sikap keagamaannya yang moderat, juga menganjurkan agar warga Nahdhiyin tidak memilih Ahok dalam Pilkada DKI yang akan berlangsung 10 hari lagi. Jadi, kalau jelaslah, umat Nahdhiyin tidak siap untuk menegakkan prinsip kesamaan dihadapan hukum.
Persidangan Ahok dengan Saksi KH. Ma’ruf Amin membuka kembali peluang kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) yang sedang terpuruk karena kasus perselingkuhan. Selama beberapa hari HRS sempat terdiam, apalagi ia sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan terhadap lambang negara Pancasila. Ia juga sedang diproses untuk 3 kasus lainnya lagi, penghinaan agama Kristes, penghinaan terhadap Presiden Sukarno, dan pelecehan terhadap budaya Sunda.
Maka HRS kembali bersuara keras tentang Ahok yang menghina ulama ditambah dengan bumbu-bumbu provokasi untuk meyakinkan umat Islam bahwa Ahok adalah penghina Islam.