Lihat ke Halaman Asli

Muslim Radikal vs Muslim Sekuler Dalam Pilkada Jakarta 2017

Diperbarui: 27 Oktober 2016   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada pepatah lama  yang berbunyi “mulutmu harimaumu”. Gubernur Ahok terpeleset karena dalam pidatonya menyinggung Almaidah 51 yang seharusnya tabu diucapkan.  Maka terjadilah eskalasi pembenci dan penantang Ahok. Mereka melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka akan melakukan demontrasi yang lebih besar lagi pada 4 November 2016. Tujuannya hanya satu, Ahok haruslah dipenjara agar tidak  bisa ikut Pilkada 2017. Mereka akan memaksa polisi dan lembaga hukum agar Ahok dihukum seberat-beratnya. Pada hal menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, hukuman yang bisa diberikan untuk kesalahan Ahok hanyalah hukuman peringatan saja.

Apakah karena kecelakaan terpleset omong itu akan menutup peluang bagi Ahok dalam Pilkada 2017? Tidak juga, kecuali ada eskalasi penentang Ahok dari warga Jakarta sudah sangat besar sekali sehingga ada keputusan politik tingkat tinggi yang melarangnya ikut Pilkada. Tetapi untuk itu kita perlu melakukan pemetaan sederhana terhadap warga Jakarta yang terhitung sebagai calon pemilih.

Jumlah pemilih sementara untuk Pilkada DKI Jakarta adalah 6.983.692 orang. Sekitar 90% dari pemilih itu, atau sekitar 6.285.322 orang adalah pemeluk agama Islam (muslim).  Mereka seringkali disebut sebagai umat Islam Jakarta. Tapi dalam menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2017, paham atau pandangan keagamaan mereka tidak sama.

Ada umat Islam yang tergolong muslim radikal dan fanatik. Mereka ini meyakini bahwa pemimpin di Jakarta haruslah seseorang  yang memeluk agama Islam. Mereka yang berpaham  radikal ini  bersifat lintas ormas Islam. Mereka ada di ormas Islam NU, Muhammadiyah, FPI, HTI, MUI, dan sebagainya. Mereka juga ada di seluruh parpol Islam atau berbasis masa muslim seperti PKS, PPP, PKB dan PAN. Bahkan mereka juga ada di ormas cendekiawan muslim seperti KAHMI dan ICMI.

Mereka meyakini, berdosa hukumnya memilih pemimpin non muslim. Mereka tidak peduli bahwa Indonesia bukan Negara Islam sehingga tidak diatur berdasarkan hukum syariat.  Mereka tidak peduli dengan kapasitas dan kualitas  keimanan calon pemimpin yang mereka usung, yang penting haruslah beragama Islam. Mereka tidak keberatan Jakarta dipimpin oleh seorang komandan preman Tanah Abang  sekalipun asalkan beragama Islam. Mereka juga tidak peduli dengan sumber rezekinya atau kekayaannya yang bersumber dari bisnis-bisnis yang diharamkan.  Mereka  bahkan tidak peduli dengan kapasitas dan kemampuan  serta kinerja seorang gubernur.  Pokoknya yang penting dia harus beragama Islam.

Lalu ada kelompok besar lainnya dari umat Islam pemilih di Jakarta. Mereka tergolong muslim sekuler, yang berpandangan urusan agama dan Negara sebaiknya dipisahkan. Urusan agama sifatnya domestik, merupakan urusan pribadi-pribadi dan keluarganya di rumah masing-masing. Sedangkan memilih pemimpin adalah urusan yang sifatnya publik, yang haruslah didasarkan atas kapasitas dan kinerja seseorang yang akan dipilih menjadi pemimpin, bukan karena agamanya. 

Pada umumnya umat Islam yang tergolong muslim sekuler ini tidak menjadi anggota ormas atau parpol Islam manapun. Mereka ada dan sangat banyak. Tetapi mereka biasanya  tidak ikut-ikutan dalam demonstrasi menentang seorang calon gubernur. Mereka adalah warga Jakarta sekolahan, bekerja sebagai tenaga professional di berbagai bidang keahlian.

Dalam rangka Pilkada DKI Jakarta 2017, kedua kelompok umat Islam itu sudah terakomodasikan kepentingan mereka pada 3 sosok calon gubernur. Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan akan dipilih oleh kelompok muslim radikal dan fanatik. Sedangkan Ahok akan dipilih oleh kelompok muslim sekuler, plus warga DKI dari kelompok-kelompok minoritas.

Kedua kelompok umat Islam Jakarta inilah yang akan bertarung di Pilkada DKI Jakarta pada 15 Februari 2017. Ahok akan terpilih  lagi menjadi gubernur Jakarta jika suara kelompok muslim sekuler lebih banyak dari muslim radikal.  Bisa saja Pilkada DKI Jakarta hanya satu putaran, jika suara yang memilih Ahok mencapai 50% plus 1.

Sedangkan Anies atau Agus Yudhoyono akan memenangkan Pilkada Jakarta jika suara kelompok pertama (muslim radikal) lebih besar. Akan tetapi  mereka harus  melalui Pilkada dua putaran, karena mereka berdua berbagi suara. Salah satu akan tersingkir. Pada putaran kedua, Ahok akan bertarung dengan Agus atau Anies. Yang menang tentu saja adalah yang mendapatkan suara lebih dari 50%.

Oleh sebab itu Pilkada DKI Jakarta 2017 sangat menarik. Kita akan melihat kelompok umat Islam mana yang lebih banyak dan dominan. Kita mengetahuinya dari perolehan suara Ahok dan dua cagub lainnya. Itulah demokrasi yang sesungguhnya. Bukannya melalui unjuk kekuatan dengan cara demo besar-besaran para demontran bayaran dari Karawang.

Sekian dulu, salam

M. Jaya Nasti




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline