Lihat ke Halaman Asli

UUD 1945 vs Al-Maidah Ayat 51

Diperbarui: 16 Oktober 2016   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah Anda seorang Pancasilais sejati? Hal itu diuji dengan sikap dan pandangan anda tentang pemberlakuan Surat Al-Maidah ayat 51 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seseorang baru bisa disebut Pancasilais sejati jika ia dapat menerima siapapun tanpa memandang etnis dan agamanya untuk menjadi pemimpin. Tentu saja mereka harus memenuhi persyaratan kapabilitas dan kepribadian untuk menjadi pemimpin. Sebaliknya, orang-orang menolak pemimpin yang karena perbedaaan agama di Negara yang berlandaskan UUD 1945,  dengan dalil Al-Maidah ayat 51, sebenarnya adalah Pancasilais munafik atau pancasilais bohong-bohongan.

Yang dikatakan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,  sebenarnya tidak ada salahnya.  Ia hanya mempersoalkan orang-orang yang memprovokasi orang lain untuk tidak memilihnya menjadi gubernur dengan menggunakan Al-Maidah ayat 51 itu. Pada hal itulah yang sebenarnya mereka lakukan. Mereka menolak Ahok dipilih menjadi pemimpin Jakarta karena ia berasal dari golongan minoritas agama dan etnis.

Itulah yang dipertontonkan oleh tokoh reformasi yang bernama Amien Rais yang ikut demonstrasi menentang Ahok yang dinilai menistakan al-Quran dan para ulama. Begitu pula halnya dengan Anies Baswedan yang mendukung dilakukannya proses hukum terhadap Ahok. Begitu pula halnya dengan para politisi dari Gerindra dan PKS yang sangat membenci Ahok. Begitu pula halnya dengan para ulama radikal di MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya yang menolak Ahok karena ia beragama Kristen. Mereka sebenarnya adalah tokoh-tokoh anti UUD 1945. Mereka sebenarnya adalah Pancasilais munafik.

Untuk menjadi pancasilais sejati diperlukan sikap kenegarawanan. Yaitu mereka yang menerima dengan ikhlas bahwa bangsa Indonesia bersifat pluralis yang terdiri dari beragam suku dan agama. Semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk  memilih atau dipilih menjadi pemimpin. Oleh sebab itu salah satu simbol dari keindonesiaan adalah Bhineka Tunggal Ika.

Sikap kenegarawanan itu yang ditunjukkan oleh para pemimpin kita, para founding fathers,  Pada bulan Agustus 1945. mereka bersepakat untuk menghapus 7 kata dalam pembukaan UUD 1945, yaitu dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk2-nja. Para pemimpin yang beragama Islam bisa menerima itu, demi persatuan Indonesia,dan  demi keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.  

Kalau begitu, umat Islam Indonesia tidak patuh pada ajaran yang tertulis pada kitab sucinya? Ternyata tidak juga. Kata awliya dalam ayat itu yang dalam terjemahan  resmi Kementerian Agama, sebagai pemimpin, ternyata  bersifat multi tafsir. Hanya di Indonesia saja yang diartikan pemimpin.  Sedangkan pada kitab-kitab tafsir lain di luar negeri, ada yang mengartikan kata awliya sebagai teman, sekutu, atau wali.

Selain itu ada pula tinjauan ayat dari sudut sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul). Ayat itu turun pada masa kaum muslimin masih berperang melawan kaum kafir Mekah yang dbantu oleh kaum Yahudi, yaitu dalam Perang Ahzab (Khandak).

Tentu saja dengan arti yang berbeda-beda itu, dan dari tinjauan asbabun nuzulnya,  maka tafsir ayat itu menjadi berbeda. Yang dilarang ternyata adalah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman atau sekutu pada saat kaum muslimin masih berperang melawan kaum kafir. Jadi bukan dalam urusan memilih pemimpin.  

Bahkan di negara-negara yang berdasarkan syariat Islam telah terjadi penyesuaian terhadap hukum-hukum syariat yang disebutkan secara jelas di dalam Al-Quran. Hukum syariat telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, hampir tidak ada lagi Negara Islam yang memberlakuan hukum potong tangan bagi para pencuri atau koruptor. Hukum potong tangan itu sudah disesuaikan dengan kondisi zaman, sehingga digantikan dengan hukuman penjara.

Oleh sebab itu, alangkah anehnya, jika sekarang, setelah 71 tahun Indonesia merdeka,   masih ada tokoh nasional  dan bahkan semakin banyak orang-orang yang tidak menerima perbedaan. Mereka berpandangan seakan-akan di Indonesia ini hanya ada pemeluk agama Islam saja.

Sekian dulu, Salam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline