Masuknya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dalam Kabinet Kerja Resuffle Jilid dua menciptakan suasana baru dalam pemerintahan. SMI, dalam tugas pertamanya selaku Menkeu, memprioritaskan perbaikan RAPBN agar lebih sehat dan realistis sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia. Hasilnya, sebesar Rp 133,3 Triliun dipangkas. Yang terkena pemangkasan mencakup dana operasional kementerian dan DAU bagi daerah. Akibatnya, para gubernur dan bupati serta walikota se Indonesia menjerit. Bahkan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah menulis sebuah artikel di kompas.com yang berisi keluhan dan jeritannya terhadap pemangkasan besar-besaran oleh SMI.
SMI bukan sembarang orang. Ia adalah orang Indonesia pertama dipercaya menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Ia juga adalah mantan Menkeu di era Presiden SBY. Ia pernah dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Marketspada 18 September2006. Ia juga terpilih sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008 dan wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007.
Tapi SMI tersingkir dari jabatannya selaku Menkeu karena SBY tidak memback-upnya dalam urusan politik. Masalahnya ia ngebet mengejar setoran tunggakan pajak sebesar Rp 2 Trilun oleh perusahaan-perusahaan milik petinggi Golkar, Aburizal Bakrie.
Menarik bahwa draft RAPBN 2017 disiapkan oleh Menkeu sebelumnya, Bambang Brodjonegoro (BB). Begitu SMI datang maka terjadilah koreksi terhadap RAPBN yang disiapkan BB, berupa pemangkasan anggaran besar-besaran tersebut. Terlihat bahwa sebelumnya BB ternyata tidak terlalu peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia yang morat-marit selama 2015 dan 2016. Ia selalu membuat RAPBN yang sangat optimistik. Ia mengabaikan fakta bahwa pada 2015 hampir seluruh target penerimaan negara tidak tercapai. Bagi BB, yang penting Presiden Jokowi senang.
Penerimaan Negara dari pajak pada 2015 tidak tercapai karena perlambatan pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh negara di dunia. Pemerintah hanya mampu merealisasikan penerimaan pajak senilai Rp 1.055 triliun atau sekitar 81,5 persen dari yang ditargetkan dalam APBNP 2015 yang tercatat Rp 1.294,25 triliun. Dengan demikian, secara nominal target itu meleset sebesar Rp 239 Triliun, Dalam penjelasan Kemenkeu, berdasarkan perhitungan sementara, realisasi pendapatan negara hanya mencapai Rp 1.491,5 triliun atau 84,7 persen dari target yang tercatat Rp 1.761,6 triliun, atau meleset sebesar Rp 270 Triliun. Penerimaan tersebut merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak, bea cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Penerimaan Negara dari sektor Migas juga mengalami penurunan karena turunnya harga minyak dunia dari USD 100 menjadi hanya USD 37 per barel, dan lifting migas yang juga terus menurun karena sumur-sumur migas sudah tua. Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) mencatat penerimaan negara dari sektor minyak dan gas sepanjang 2015 hanya mencapai USD 12,86 miliar atau Rp 177,47 triliun. Pencapaian ini hanya 85% dari target APBN-P 2015 sebesar USD 14,99 miliar.
Angka ini jauh lebih kecil dari penerimaan negara pada 2014 yaitu US$26,7 miliar. Karenanya penghapusan subsidi BBM yang diharapkan menghasilkan Rp 300 Triliun, ternyata langsung terhapus karena tidak tercapainya target pendapatan Negara, termasuk penurunan harga minyak dunia tersebut.
Akibatnya Negara mengalami defisit anggaran yang cukup parah. Defisit anggaran mengalami peningkatan dari Rp 272,2 triliun di APBN Induk 2016 menjadi Rp 313,2 triliun dalam RAPBN tahun 2017. Kondisi itu menyebabkan Pemerintah terpaksa menambah utang luar negeri. Bank Indonesia melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2016 tercatat sebesar US$ 323,8 miliar atau setara dengan Rp 4.273 triliun. Selama 2 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, utang luar negeri pemerintah meningkat sebesar hampir Rp 600 triliun.
Meskipun demikian, BI masih menyatakan bahwa utang sebesar itu dalam koridor aman. Total utang itu jika dikaitkan dengan Gross Domestic Product/produk domestik bruto (GDP) Indonesia hanya sekitar 36,7 persen. Dibandingkan sejumlah Negara termasuk Malaysia dan bahkan Amerika Serikat, utang Negara masih terbilang kecil jika dilihat dari rasio GDP setiap Negara.
Presiden Jokowi menyadari kekeliruannya yang menerima begitu saja konsep yang disodorkan BB selaku Menkeu. Presiden Jokowi lalu membujuk SMI yang sedang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Bank Dunia untuk kembali ke Indonesia. SMI diminta untuk kembali mengurus keuangan Negara yang kacau balau. Untunglah SMI bersedia memenuh ajakan Presiden Jokowi. Maka pada reshuffle Kabinet Kerja kedua, SMI duduk menggantikan BB, yang posisinya digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas.
Sebagai akibatnya, bahkan sebelum melakukan reshuffle kedua, Presiden Jokowi terpaksa pontang-panting mencari sumber pendanaan alternatif untuk menutup defisit anggaran yang terjadi. Maka muncullah ide untuk merealisasikan dana yang diperoleh dari pengampunan pajak (tax amnesty, TA) yang diharapkan bisa menutupi sebagian defisit anggaran. Presiden Jokowi sangat antusias untuk mengegolkan RUU TA tersebut, dengan berkali-kali melobi pimpinan DPR serta partai politik. Akhirnya RUU TA disahkan menjadi Undang- Undang. Presiden Jokowi tampil di berbagai kota untuk mensosialisakan UU TA tersebut kepada para pengusaha.