Konon Indonesia adalah negara nomor satu atau jawara dalam hal jumlah perokok. Tidak kurang 90 juta penduduk adalah perokok aktif. Jika setiap perokok membelanjakan uang untuk membeli 1 bungkus rokok per hari dengan harga sekarang, rata-rata Rp 15.000,- maka rakyat Indonesia yang sebagian besar masih miskin, membakar uang sebanyak Rp 492 Triliun setahun. Suatu pemborosan yang luar biasa besar, artinya hampir seperempat APBN.
Semakin rendah pendidikan penduduk suatu desa atau daerah, semakin tinggi jumlah penduduknya yang merokok. Penduduk desa adalah penduduk yang rata-rata berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, sebagian besar perokok adalah orang-orang desa. Mereka, selaku orang tua tidak tahu bahaya rokok. Lalu mereka memberikan teladan merokok kepada anak-anak mereka sejak anak-anak masih balita.
Sedangkan para pemilik pabrik rokok, yang menjadi orang-orang terkaya di Indonesia, merasa tanggung jawab moral mereka sudah selesai dengan menulis peringatan pada setiap bungkus rokok bahwa “merokok dapat membunuhmu”. Mereka berdalih bahwa mereka hanya memproduksi rokok untuk orang-orang yang tidak memahami atau tidak mempedulikan peringatan itu.
Di negara kita, kebiasaan merokok dipicu pula oleh adat istiadat dan budaya local. Pada acara-acara adat di desa terjadi “perlombaan” merokok, karena merokok menjadi sarana penyambung pergaulan dan persahabatan. Para petugas penyampai undangan untuk acara pesta perkawinan, akan dilengkapi dengan rokok untuk ditawarkan kepada orang yang akan diundang. Setelah mengisap sebatang rokok, barulah petugas menyampaikan maksud dari kedatangannya.
Akibatnya kebiasaan merokok sudah melembaga dan mendarah daging di negara kita. Di mana saja akan ditemukan orang yang sedang menikmati rokok. Termasuk di dalam kendaraan umum. Mereka tidak peduli sebagian besar penumpang adalah perempuan dan anak-anak.
Saya sendiri sudah berhenti merokok selama 32 tahun. Namun saya masih menjadi perokok pasif karena sering bepergian menggunakan sarana transpor umum. Hanya bus transjakarta dan kereta api yang melarang merokok secara tegas termasuk di area stasiun.
Saya divonis dokter mengidap penyakit sirosis hati, dan saya menjalani beberapa kali operasi yang disebabkan liver (hati) tidak berfungsi dengan baik. Karenanya anak-anak melarang saya bekerja yang berat-berat termasuk melakuan perjalanan jauh dan menyetir mobil. Oleh sebab itu, saya terpaksa menggunakan, terutama angkot, jika bepergian ke luar rumah. Sedangkan kalau ada keperluan ke Jakarta, saya menggunakan KAL Commuter.
Wacana menaikkan harga rokok menjadi Rp 50.000,- per bungkus merupakan berita bagus bagi saya, dan masyarakat anti rokok pada umumnya, yang masih sering menggunakan kendaraan umum, baik angkot maupun bus. Meskipun demikian, naiknya harga rokok menjadi Rp 50.000,- mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi perokok,. Mereka masih akan membeli rokok di kios-kios kaki lima dan di minimarket seperti Alfamart dan Indomaret. Para perokok tidak akan berhenti merokok. Mungkin mereka hanya melakukan penyesuaian budget agar tetap bisa merokok Mungkin pula mereka mengurangi frekwensi merokok, misalnya dari 12 kali menjadi 6 kali sehari. Mungkin juga mereka terpaksa membuat jadwal merokok. Hanya merokok setiap kali sehabis makan (3 kali) dan sekali di sela-sela waktu makan itu.
Tetapi saya berharap, dengan terjadinya pengurangan frekwensi merokok itu, jumlah perokok di kendaraan umum juga akan berkurang. Dengan demikian, saya tidak lagi menjadi perokok pasif setiap kali menaiki kendaraan umum. Asap yang mengepul sudah akan menjadi sangat jarang.
Oleh sebab itu, saya tidak percaya bahwa menaikkan harga rokok dapat mengurangi jumlah perokok. Yang lebih efektif dalam mencegah bahaya merokok adalah dengan melakukan pendekatan yang bersifat komprehensif. Selain menaikkan harga rokok dilakukan pula pengawasan ketat tentang larangan merokok di tempat umum. Lokasi merokok dibatasi sedemikian rupa, hanya boleh di rumah atau tempat khusus. Sebagaimana dilakukan di banyak negara, iklan rokok di televisi dilarang,
Selain itu, sosialisasi larangan merokok seharusnya dilancarkan secara besar-besaran. Organisasi kemasyarakatan dilibatkan untuk juga mendorong warganya agar tidak merokok. Untuk itu saya memberikan apresiasi kepada ormas Muhammadiyah yang sejak 3 tahun yang lalu menerbitkan fatwa haramnya merokok.