Menteri Desa Marwan Jafar yang salah satu tugasnya mengurusi desa, memprmosikan suatu model usaha ekonomi untuk mengembangkan perekomian desa. Model usaha ekonomi tersebut adalah BUMDes.
BUMDes merupakan suatu badan otonom yang dimiliki secara bersama oleh Pemerintah desa bersama rakyat desa yang ikut serta menjadi pemegang sahamnya. Sedangkan usaha yang dijalankannya disesuaikan dengan potensi ekonomi desa tersebut. BUMDes bisa mendirikan unit usaha seperti simpan pinjam, usaha pemasaran, pengolahan dan usaha jasa yang dibutuhkan rakyat desa seperti transportasi dan sebagainya.
Saya pikir BUMDes adalah sebuah opsi lain dari koperasi yang tidak berkembang dengan baik di negara kita. Pada dasarnya BUMDes dapat memenuhi sebagian besar konsep jatidiri koperasi (cooperative indentity). Sesuai penjelasan Marwan Jafar, “BUMDes didirikan atas dasar komitmen bersama masyarakat bawah, masyarakat akar rumput, untuk saling bekerja sama, bergotong royong menggalang kekuatan ekonomi rakyat demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa".
Jadi BUMDes akan disi dengan semangat kerjasama dan kegotong royongan. Kemandirian badan usaha diwujudkan dalam bentuk Badan Usaha yang bersifat otonom yang terbebas dari campur tangan pihak manapun.
Yang membedakan BUMDes dengan koperasi hanyalah bentuk badan usaha yang bisa saja berupa perseroan terbatas (PT). Sebagai PT, BUMDes akan dibentuk atas dasar kepemilikan atas saham, sebagian merupakan milik Desa yang disisihkan dari Bantuan Dana Desa dan sebagian lagi dimiliki rakyat desa yang membeli saham sesuai kemampuan masing-masing.
Kenapa harus Perseroan Terbatas (PT), bukan badan hukum koperasi saja? Masalahnya, badan hukum koperasi lebih lemah dari PT. Akibatnya banyak pihak yang berbadan hukum PT, baik bank, perusahaan pemasok dan distribusi kurang beminat mengikat kerjasama dengan koperasi.
Saham milik Desa akan menghasilkan Pendapatan Asli Desa, sedangkan dari saham milik rakyat mengasilkan semacam deviden atau SHU sesuai jumlah saham masing-masing. Jadi prinsip “one person one vote” diganti dengan “one share one vote” (satu saham satu suara), seperti prinsip yang dijalankan Perseroan Terbatas. Meskipun demikian, saham yang dimiliki desa pada dasarnya juga adalah milik rakyat desa secara keseluruhan. Nantinya deviden dari BUMDes itu akan digunakan sesuai kesepakatan bersama rakyat desa, misalnya untuk membayar premi BPJS Kesehatan Kelas II bagi seluruh kepala keluarga.
Mungkin saja benar asumsi bahwa suatu badan usaha milik bersama tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Diperlukan keikutsertaan Pemerintah Desa yang akan mengawasi pengelolaan usaha dan manajemen BUMDes secara efektif. Keberhasilan BUMDes adalah juga keberhasilan seorang Kepala Desa. Sebaliknya, koperasi-koperasi berumur pendek karena pengelolaan dan pengawasan sepenuhnya berada di tangan anggota. Koperasi pada bubar karena anggota berebut aset koperasi, karena mereka miskin dan membutuhkan uang. Banyak koperasi yang sempat besar tetapi mengalami kehancuran karena perebutan asset koperasi oleh pengurus dan anggota koperasi. Misalnya Koperasi Sopir Taksi (Kosti) yang jadi rebutan beberap kelompok anggota koperasi.
Sekarangpun banyak koperasi yang tidak sepenuhnya menjalankan prinsip koperasi. Koperasi-koperasi simpan pinjam yang besar-besar seperti Kospin Jasa, misalnya tidak lagi menjalankan “open membership”. Mereka sudah menjadi semacam bank yang memposisikan peminjam hanya sebagai nasabah.
Mungkin hanya koperasi kredit (kopdit) yang masih setia dengan prinsip-prinsip koperasi. Tetapi jumlah Kopdit tidak banyak dan terus berkurang jumlahnya. Kalau pada 1995 jumlah Kopdit primer sebanyak 1.601 unit pada 2010 jumlah kopdit primer hanya sekitar sekitar 829 unit saja yang bertahan hidup.
Sekian dan Salam