Hari ini (29/2/2016) Kalijodo dibongkar. Sesuai agenda yang ditetapkan Pemda DKI Jakarta, sejak pagi sekali alat-alat berat sudah bekerja meruntuhkan satu persatu bangunan yang ada di sana.
Berbeda dengan Kampung Pulo, pembongkaran di Kalijodo berlangsung tanpa hambatan. Penghuni Kalijodo yang ber-KTP DKI sudah pindah ke Rusun Marunda. Para PSK sudah pulang ke kampung masing-masing. Para preman Kalijodo sudah lebih dahulu kabur, karena tidak mungkin melakukan perlawanan kepada 5000 polisi dan TNI yang dikerahkan untuk berjaga-jaga. Apalagi Daeng Aziz yang menjadi tokoh preman di sana sudah dicokok oleh polisi dengan tuduhan mencuri listrik PLN.
Dengan demikian mulus sudah. Sebuah komplek lokalisasi pelacuran di Jakarta berkurang satu. Nanti, kawasan Kalijodo akan dijadikan taman, ruang terbuka hijau.
Mengapa pembongkaran dan penggusuran berjalan dengan mulus? Faktor pertama adalah Ahok atau Pemprov DKI menyediakan lokasi penampungan yang cukup mewah, rusunawa sekelas apartmen berikut perlengkapannya. Tempat penampungan itu dapat mereka tempati selamanya, dengan membayar sewa yang relatif sangat ringan, bahkan diberikan fasilitas bebas sewa selama 3 bulan.
Ahok juga menyiapkan sekolah untuk menampung anak-anak penghuni Kalijodo. Mereka bisa langsung masuk sekolah. Jadi tidak ada alasan lagi untuk bertahan di Kalijodo.
Faktor kedua adalah ketegasan Ahok yang tidak membuka ruang untuk tawar menawar ganti rugi dan uang kerahiman. Rakyat sudah paham, jika melawan, merekalah yang akan semakin sengsara. Yang pasti kebijakan Ahok akan berjalan terus. Rakyat mengerti bahwa tidak ada gunanya mendengarkan nasehat dan hasutan dari orang-orang luar yang berlagak menjadi pembela, seperti JJ Rizal dan Ratna Sarumpaet serta pengacara Razman Arif Nasution. Mereka paling-ppaling hanya bisa berteriak-teriak saja, tetapi tidak berdaya menghadapi tindakan pembongkaran yang dilakukan.
Rakyat semakin cerdas. Mereka menyadari bahwa selama puluhan tahun telah menempati tanah Negara tanpa hak, dan sekarang negara memintanya kembali. Mereka harus mengembalikannya. Hal itu pula yang dilakukan oleh penghuni kawasan Bidaracina di Jatinegara. Tanpa rebut-ribut mereka mengosongkan rumah dan pindah ke tempat penampungan di salah satu rusunawa yang tidak jauh dari lokasi lama mereka bertempat tinggal.
Itulah gaya penggusuran yang dilakukan oleh Ahok, melanjutkan gaya penggusuran ala Jokowi di Solo. Jokowi memindahkan pedagang K5 ke lokasi baru agar tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Hasilnya tidak ada rebut-ribut dan tindak pemaksaan.
Penggusuran yang dilakukan Ahok tidak seperti yang dilakukan di era Gubernur-gubernur sebelumnya, sampai era Fauzi Bowo. Waktu itu rakyat digusur, disuruh pindah tanpa disediakan tempat penampungan. Bahkan kalau mereka menolak pindah, lokasi tempat tinggal dan tempat usaha mereka dibongkar paksa. Kalau masih membandel lokasi itu dibakar. Seperti yang dialami pedagang keramik di kawasan Rawasari. Jadi betul-betul tidak manusiawi.
Sekali lagi Ahok membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang paling ideal bagi Jakarta yang keras dan kejam. Hanya Ahok yang mampu menaklukkannya. Ia keras dan berani, tetapi juga manusiawi.
Sekian dulu, salam