Meskipun saya pendukung Jokowi, saya tidak tidak setuju dengan kebijakan menghapuskan perlindungan dan proteksi bagi dunia usaha. Jokowi menyebut perlindungan dan proteksi menjadikan dunia usaha manja dan tidak kuat bersaing.
Sejatinya dunia usaha di Indonesia sebenarnya masih memerlukan perlindungan dan proteksi, karena 99,8% masih berupa unit-unit usaha yang tergolong usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada hal pemerintah dari berbagai negara memberikan proteksi terselubung. Tujuannya tentu saja agar produk yang mereka hasikan mampu bersaing. Mereka memberikan kemudahan dalam akses kredit, Bunga yang murah, energi murah, pajak dan sebagainya.
Sedangkan di negara kita, kemudahan itu tidak diperoleh. UMKM misalnya masih sulit mengakses kredit perbankan. KUR yang bunganya rendah dan murah diakses baru dalam tahap rencana. Itupun nilainya paling tinggi hanya Rp 500 juta. Listrik masih mahal. Transportasi ke pelabuhan masih belum lancar karena jalanan banyak yang rusak.
Dalam situasi demikian, pada 31 Desember 2015, kesepakatan tentang pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah berlaku efektif di seluruh Negara ASEAN. MEA adalah sebuah agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk menghilangkan, jika tidak, meminimalisasi hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi.
Hal itu berarti 10 negara di Asia Tenggara terikat pada suatu kesepakatan untuk menjadi suatu masyarakat ekonomi. Hal itu juga berarti, baik berupa barang maupun usaha jasa bisa masuk dengan bebas ke mana saja di dalam lingkup Negara negara ASEAN.
Permasalahan Indonesia, sudah siapkah kita? Produk apa saja yang bisa dijual ke Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand dan Negara anggota ASEAN lainnya? Produk dan jasa keahlian apa yang kita miliki yang kualitasnya bisa bersaing dengan produk dan jasa keahlian dari 9 negara ASEAN lainnya?
Tentu pasti ada, tetapi saya pesimis, tidak banyak yang bisa dijual. Menurut pejabat di Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Indonesia mempunyai 19 produk unggulan. Itupun terdiri 9 produk unggulan yang memang sudah jadi unggulan, dan 10 produk yang sifatnya masih potensial.
Sembilan produk unggulan ekspor itu adalah tekstil dan produk tekstil, elektronik, karet, produk hutan, alas kaki, otomotif, udang, coklat/kakao dan kopi. Sedangkan 10 produk potensil ekspor ke ASEAN tersebut adalah kulit dan produk kulit, peralatan dan instrumen medis, rempah-rempah, makanan olahan, essential oil, ikan dan produk ikan, produk kerajinan, perhiasan, bambu dan peralatan tulis selain kertas.
Sebaliknya, dengan berlakunya MEA, pasar-pasar Indonesia akan segera dipenuhi oleh produk—produk yang sama yang dihasilkan perusahaan Indonesia yang datang dari Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Vietnam. Bahkan yang lebih mengkawatirkan adalah serbuan produk dari negara-negara Asia non ASEAN, seperti China, Korea dan Jepang.
Kalau kita berbelanja alat-alat mesin dan elektronik di Pasar Glodok, seluruh toko disesaki oleh produk dan mesin keluaran China yang harganya murah meriah dan produk dari Jepang yang sedikit lebih mahal. Jalanan di seluruh pelosok Indonesia disesaki oleh segala macam mobil dan motor buatan Jepang. Di dalam saku hampir seluruh eksekutif terdapat smartphone buatan Korea. Lalu kalau mampir berbelanja buah-buahan, yang dijual oleh seluruh kios buah di pinggir jalan dan di mal-mal, adalah buah-buahan dari kebun-kebun petani China, Thailand, Amerika dan Australia. Bahkan bahan makanan pokok kita, seperti daging, kedele, garam dan sebagainya, sebagian besar adalah produk impor. Yang tidak diimpor hanya minyak goreng dan mie instant.
Oleh sebab itu, dalam waktu dekat, saya memprediksi akan banyak kematian dan kebangkrutan yang melanda perusahaan-perusahaan yang kita miliki. Dampaknya secara langsung adalah pengangguran karena banyak perusahaan melakukan PHK. Apalagi perusahaan-perusahaan yang tergolong UMKM, yang selama ini hanya berkiprah secara lokal dan domestik, pastilah akan menjadi korban pertama yang gulung tikar.