Ternyata masih ada doa untuk Muhammad Riza Chalid, raja mafia minyak yang sedang bersembunyi di luar negeri. Imam Mesjid Biru di Ciawi, sehabis memimpin shalat jumat, membaca doa untuk diamini oleh para Jemaah. Salah satu butir doa adalah memohon kepada Tuhan untuk memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi sejumlah ulama dan tokoh, yang nama mereka disebutkan, termasuk Muhammad Riza Chalid dan Muhammad Hatta Radjasa.
Mendengarkan doa imam tersebut, saya langsung berdiri dan meninggalkan acara doa yang sedang berlangsung. Saya tidak ingin ikut berdoa bagi sang raja mafia minyak. Imam masjid yang membaca doa itu adalah seorang kiyai. Mungkin ia tidak pernah membaca koran atau mendengarkan berita tentang siapa dan bagaimana Muhammad Riza Khalid.
Sang Kiyai mungkin hanya membaca doa yang sama dan terus menerus dibacakan sehabis shalat berjamaah, karena Riza Chalid dan Muhammad Hatta Rasjasa adalah penyandang dana terbesar bagi pembangunan masjid tersebut. Tetapi masyarakat menyebut mesjid itu adalah mesjidnya SBY, atau mesjidnya Partai Demokrat yang lambangnya memang berwarna biru.
Saya sendiri tidak tahu persis mengenai masjid itu, karena Muhammad Hatta Radjasa yang waktu itu menjadi Ketua Umum PAN juga menjadi penyandang dana. Bahkan ada di depan masjid ada bangunan ruang pertemuan yang sepertinya milik Hatta Radjasa. Yang pasti masjid itu dibangun dengan dana para konglomerat atau pengusaha dan pejabat Negara untuk tujuan-tujuan politis. Karenanya, saya mendengar masjid itu menyelenggarakan acara-acara keagamaan yang dihadiri oleh SBY.
Selain Mesjid Biru yang identik dengan mesjidnya Partai Demokrat, di Simpang Gadog, sekitar 1½ km dari Pasar Ciawi, berdiri pula sebuah masjid yang cukup besar dan indah. Bahkan masjid itu dilengkapi pula dengan bangunan Jam Gadang, mirip jam gadang di Bukittinggi, Sumatera Barat. Masjid itu dibangun dengan dana wakaf dari perorangan, yaitu Drs. Syahrul Effendi, mantan walikota Jakarta Selatan. Syahrul Effendi kelahiran Bukittinggi, sehingga masjid yang diberi nama “harakatul jannah” itu menggunakan arstektur Minangkabau. Pintu gerbang masjid menggunakan atap bagonjong. Begitu pula sejumlah bangunan tambahan lain. Selain itu seluruh komponen kayu seperti mihrab masjid dan podium menggunakan ukiran ala Minang.
Meskipun saya juga berasal dari Bukittinggi dan bermukim di Ciawi, saya tidak terlalu sering jumatan di masjid itu. Yang menjadi pikiran saya setiap mengunjungi masjid itu adalah, bagaimana mungkin Syahrul Effendi yang hanya menjadi walikota Jakarta Selatan, bisa memiliki dana sedemikian banyak, sehingga mampu membangun masjid yang sangat megah. Kalau dari gajinya saja pastilah tidak cukup. Lalu dari mana? Maka ketimbang saya menjadi berburuk sangka, lebih baik tidak jumatan di sana.
Oleh sebab itu saya memutuskan untuk jumatan di Mesjid besar lain di Ciawi, yaitu Mesjid Amaliyah, yang berlokasi di lapangan di dekat pasar Ciawi. Mesjid itu berdampingan dengan Universitas Djuanda, dibangun oleh masyarakat Ciawi dan bantuan Pemerintah.®
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H