Dalam sejarah perkembangan parpol sejak era reformasi, hanya Partai Demokrat yang mampu langsung melejit sejak pertama kali mengikuti Pemilu. Pada Pemilu 2004, PD menduduki posisi kedua dalam perolehan kursi di DPR, dan meraih suara tertinggi untuk memenangkan SBY menjadi Presiden. Pada Pemilu 2009, PD meraih kursi terbanyak dan kembali memenangkan suara untuk mengukuhkan SBY menjadi Presiden untuk masa jabatan kedua.
Partai-partai kecil yang berada pada urutan terbawah dalam perolehan kursi pada Pemilu 2009, kelihatannya sangat terinspirasi dengan keberhasilan Partai Demokrat pada 2 Pemilu sebelumnya. Para ketua umum partai-partai kecil itu yakin bisa memenangkan Pemilu 2014. Hanya saja, kita tidak tahu, alasan-alasan apa yang menjadikan rakyat secara emosional mau memilih caleg-caleg yang mereka sodorkan, dan kelak memberikan suara kepada mereka selaku ketua umum atau ketua pembina partai. Karena tidak menemukan alasan yang logis, maka kita hanya bisa berkata, para petinggi parpol kecil itu sebenarnya hanya berkhayal akan memenangkan Pemilu 2014.
Misalnya, Partai Hanura yang pada Pemilu 2009 berada pada urutan terbawah dalam perolehan kursi di DPR. Namun untuk Pemilu 2014, Wiranto selaku Ketua Umum Partai Hanura sudah jauh-jauh hari men-capres-kan dirinya. Lalu, Hary Tanu yang hengkang dari Partai Nasdem, ditetapkan sebagai cawapres. Dengan demikian Partai Hanura harus menang dengan perolehan minimal 20% kursi di DPR, pada hal pada Pemilu 2009 hanya meraih 18 kursi atau 3,2%. Jadi bisakah Partai Hanura, yang dalam perjalanannya selama 5 tahun ini tidak menunjukkan prestasi apa-apa, meloncat naik sampai 17% kursi di DPR? Selain itu, dengan menetapkan sekaligus Hary Tanu sebagai cawapres, maka Partai Hanura tidak mungkin berkoalisi dengan partai lain untuk memenangkan Pilpres 2014. Jadi jelaslah, Wiranto dan para petinggi Partai Hanura hanya berkhayal akan memenangkan Pemilu 2014.
Demikian juga halnya dengan Partai Gerindra yang juga sangat berambisi memenangkan Pemilu 2014, untuk menjadikan Prabowo menjadi presiden ketujuh. Pada Pemilu 2009 partai ini hanya meraih 26 kursi (4,6%) di DPR, artinya pada urutan kedua dari bawah. Jadi untuk mengusung Prabowo menjadi capres, partai ini harus mampu meningkatkan raihan kursi di DPR pada Pileg sebanyak minimal 16%.
Karena merupakan partai oposisi, maka kita tidak mengetahui kiprah partai ini yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Selain itu, ada faktor dosa masa lalu Prabowo yang diharapkannya dapat dimaafkan dan dilupakan oleh seluruh rakyat. Dalam hal ini Partai Gerinda boleh berharap karena ada faktor cepat lupa yang diderita oleh sebagian rakyat.
Berdasarkan fakta tersebut, Partai Gerindra sebenarnya tidak berbeda dengan Partai Hanura, faktor khayalannya lebih tinggi ketimbang alasan-alasan rasional yang menjadikan rakyat mau memilih partai ini.
Saya tidak percaya dengan khayalan-khayalan yang tidak masuk akal. Tidak akan ada keajaiban berupa lonjakan yang sangat tinggi dalam perolehan suara bagi suatu parpol yang prestasi kerjanya tidak jelas, atau hanya janji muluk-muluk disampaikan para jurkam parpol.
Karenanya, saya yakin capres untuk Pilpres 2014 hanya 3 orang saja, yaitu Jokowi dari PDI-P, ARB dari Partai Golkar dan Dahlan Iskan dari Partai Demokrat. Namun ARB, karena dosa-dosanya dalam kasus lumpur Lapindo, dan bukan orang Jawa, seharusnya ARB legowo melihat kenyataan bahwa elektabilitasnya selama ini stagnan, tidak pernah naik-naik. Dia hanya akan menjadi capres untuk sekedar meramaikan Pilpres 2014.
Akhirnya, Pilpres 2014 sebenarnya hanya menjadi pertarungan dua capres hebat, yang sama-sama merakyat, dan sama-sama datang dari keluarga miskin, yaitu Jokowi dan Dahlan Iskan. Dalam kampanye pilpres nanti, mata hati rakyat akan terbuka untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang lebih memiliki kapabilitas untuk mengantarkan Indonesia secepatnya menjadi negara makmur dan maju.
Ciawi 16/03/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H