Lihat ke Halaman Asli

SBY Kalah Strategi dari Muhaimin

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar di kantor DPP PKB, Jakarta, Minggu (12/1/2014). (KOMPAS.com/Indra Akuntono)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar di kantor DPP PKB, Jakarta, Minggu (12/1/2014). (KOMPAS.com/Indra Akuntono)"][/caption]

Pemilu legislatif 2014 baru saja usai. Meskipun perhitungan suara oleh KPU belum dimulai, tetapi lembaga-lembaga survei telah menyelesaikan penghitungan cepat (Quick Count).  Seluruh lembaga penyelenggara quick count menghasilkan angka yang hampir sama, dengan perbedaan paling banyak 1%.  Hasil quick count ini,  meskipun belum hasil resmi, namun dari pengalaman dua kali pemilu sebelumnya, tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan secara manual oleh KPU.

Berdasarkan hasil quick count tersebut,  PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra dan Partai Demokrat menduduki posisi empat besar. Sepuluh partai akan menjadi penghuni Gedung  DPR Senayan.  Sedangkan dua partai, yaitu PBB dan PKPI tersungkur.

Ada sejumlah hal yang menarik dari hasil pemilu legislatif 2014 ini. Pertama, PDIP, meskipun menempati posisi pemenang pertama, namun perolehan suaranya hanya naik sekitar 5% dibanding hasil Pemilu Legislatif 2009, yaitu dari 14,03% menjadi sekitar 19%. Jadi sebenarnya apa yang disebut “Jokowi effect”, tidak terlalu dahsyat, seperti diprediksi oleh banyak pengamat politik. Bahkan sebelumnya ada yang memprediksi PDIP akan memenangkan sekitar 30% suara.

Partai Golkar, yang menempati posisi pemenang kedua, memperoleh suara yang hampir sama dengan perolehan suaranya pada 2009, yaitu sekitar 14,5%. Yang paling menderita adalah Partai Demokrat, dari nomor urut satu anjlok ke nomor urut empat. Pada Pileg 2009, Partai Demokrat memperoleh 20,85 suara. Sekarang,  Partai Demokrat hanya mengantongi 9,60% suara, berkurang sekitar 11,25%. Dengan demikian Partai Demokrat tidak bisa lagi disebut partai besar,  tetapi akan bergabung dengan PKB, PAN, PKS, PPP,  Hanura dan Nasdem sebagai partai-partai kecil.

Kejutan yang terjadi adalah perolehan suara Partai Gerindra, yang menyodok masuk pada urutan pemenang ketiga. Perolehan suaranya meningkat hampir 3 kali lipat dari 4,5% pada 2009 menjadi sekitar 11,81%. Oleh sebab itu, yang terjadi sebenarnya adalah “Prabowo Effect”, karena mampu menggenjot perolehan suara Partai Gerindra secara sangat signifikan.

Kejutan lainnya adalah perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak berbeda jauh dari perolehan suara Partai Demokrat, yaitu 9,2%. Perolehan PKB cukup signifikan dibandingkan dengan suara pada 2009, terjadi peningkatan perolehan suara sekitar 4,3%. Pada hal PKB tidak menghasilkan prestasi dan kinerja yang menonjol di dalam KIB II. Anggota DPR dari PKB lebih banyak bersikap “pak turut” sehingga menjadi partai anggota koalisi yang tidak banyak ulah.

Pileg 2014 yang baru saja usai sekaligus menjadi ajang penghukuman rakyat terhadap partai yang kader dan petingginya terlibat  korupsi.   Anjlognya suara Partai Demokrat sehingga tersisa kurang dari separo, adalah karena partai ini dihukum oleh rakyat. Partai Keadilan Sejahtera juga terkena hukuman, meski perolehan suaranya hanya turun 1%, dari 7,88% menjadi 6,88%.

Anjognya perolehan suara Partai Demokrat dapat dipandang sebagai kegagalan strategi yang dijalankan oleh SBY selaku Ketua Umum. Ia bahkan kalah strategi dari Muhaimin Iskandar. SBY terlalu pede dengan kehebatan dirinya, maka ia menjadi jurkam tunggal. SBY juga menyimpan rapat nama capres yang akan diusung pada Pilpres 2014. Maka jadilah Partai Demokrat satu-satunya partai yang belum mempunyai capres menjelang Pileg. Dalam acara di metrotivi,  Prof. Saldi Isra menyayangkan SBY yang peragu,  sehingga  menyimpan potensi yang dimiliki tokoh seperti Dahlan Iskan yang sebenarnya bisa memberikan kontribusi besar untuk memenangkan Partai Demokrat.

Demikianlah, dengan menyimpan Dahlan Iskan, maka SBY terbukti tidak mampu mengeksplor secara optimal prestasi-prestasi besar yang telah dihasilkan pemerintah untuk menutup dosa korupsi yang dilakukan para kadernya. Rakyat tidak tahu bahwa pemerintah telah bekerja keras. Rakyat tidak menyadari keberadaan berbagai program pro rakyat miskin,  seperti jaminan kesehatan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat di Bali tidak menyadari bahwa jalan tol di atas laut yang sekarang menjadi “landmark” Bali adalah prestasi dari pemerintah dan Dahlan Iskan selaku capres Partai Demokrat. Dan sederet prestasi besar lainnya.

Sebaliknya dengan Muhaimin Iskandar yang menyadari ketokohannya masih kalah populer. Oleh sebab itu,  ia selaku Ketua Umum PKB,  dengan cerdik memasang 3 tokoh sekaligus sebagai capres PKB, yaitu Jusuf Kalla,  Mahfud MD dan Rhoma Irama.

Dengan memasang tiga tokoh nasional sebagai capres, yang reputasi mereka  sangat baik,  maka PKB mendapatkan respek yang tinggi oleh publik. Siapa yang tidak kenal dengan reputasi Jusuf Kalla,  wapres yang terkenal dengan semboyannya,  “lebih cepat lebih baik”. Begitu pula dengan Mahfud MD, mantan Ketua MK yang   sangat dikagumi oleh banyak pihak.  Lalu ada Rhoma Irama, raja dangdut yang suka berdakwah, yang diidolakan oleh jutaan orang. Hasilnya,  PKB mendulang suara dua kali lipat dari perolehan suara 2009.

Dengan perolehan suara Partai Demokrat kurang dari 10% tersebut maka peluang Dahlan Iskan menjadi capres Pilpres 2014 hampir dipastikan sirna. Peluangnya hanya masih mungkin sebagai cawapres. Itupun dengan dengan sejumlah faktor pemberat yang berada di luar dirinya. Pertama SBY mau menawarkan Dahlan Iskan sebagai cawapres  kepada PDIP, Partai Golkar atau Partai Gerindra dengan 10% suara yang dikantongi Partai Demokrat. Kedua adanya kesediaan salah satu parpol untuk memasang Dahlan Iskan sebagai cawapres dari Jokowi, ARB atau Prabowo, setelah mempertimbangkan prestasi kerja Dahlan Iskan yang hebat dan suara 10% yang dikantongi Partai Demokrat tersebut.

Dahlan Iskan menyadari tipisnya peluang yang dimilikinya termasuk untuk menjadi cawapres. Karenanya di metrotivi ia berkata, dulu ia berjuang untuk menjemput takdir. Tapi sekarang dia hanya bisa “menunggu takdir”.

Ciawi 10 April 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline