Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Adalah Kita (1)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi adalah gubernur Jakarta yang kemana-mana bepergian tidak memakai jam tangan. Alasannya, sudah sejak dulunya tidak biasa memakai jam tangan. Kalau ia ingin tahu waktu, ia melihat jam pada telpon genggam atau bertanya kepada ajudan.

Dalam rangka kampanye Pilpres, oleh tim suksesnya dibuat baliho yang berisi potret diri Jokowi memakai baju putih seharga Rp 100 ribu, celana panjang seharga Rp 150 ribu dan sepatu seharga Rp 200 ribu. Jadi total kostum yang dipakai Jokowi hanya seharga Rp 450 ribu saja.

Dibandingkan dengan para pejabat di lingkungan DKI Jakarta, Jokowi sangat jauh ketinggalan. Para pejabat itu sebagian besar pastilah memakai baju dan celana yang mahal, jam tangan yang harganya juga mahal,  bersepatu mengkilat dan merk luar negeri.

Jokowi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Ratu Atut,  mantan gubernur Banten yang sekarang jadi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Menurut Majalah Tempo, total harga dari pakaian sampai  berbagai asesories yang dipakai Ratu Atut mencapai Rp 1 milyar.

Jokowi juga tidak ada apa-apanya dengan Panglima TNI,  yang jam tangannya pernah diributkan di Singapura. Jam tangan merk Richard Mille RM011 seri Felippe Massa yang harganya mencapai Rp 1milyar lebih. Tapi jam itu diakui Moeldoko dibelinya seharga Rp 5 juta. Bayangkan,  jam tangan palsu saja yang dipakai Panglima TNI harganya Rp 5 juta.

Sebagai pemimpin tertinggi di Jakarta,  Jokowi memang terlalu sederhana. Ia tidak berbeda dengan sebagian besar rakyat Jakarta dan bahkan rakyat Indonesia yang juga memakai kostum sederhana. Oleh sebab itu,  iklan kampanye Jokowi dengan slogan “Jokowi adalah Kita” memang terasa sangat pas.

Tentu ada masalah dengan kesederhanaan itu. Menurut Fahri Hamzah,  Jokowi tidak punya tampang presiden. Ia memiliki tampang orang kebanyakan, sebagaimana tampang kita selaku rakyat biasa. Tentunya hak Fahri Hamzah,  politikus dari Partai Keadilan Sejahtera untuk tidak menyukai presiden yang tampangnya tidak berbeda dengan rakyat jelata. Ia menyukai pemimpin seperti Anies Matta,  yang muda usia dan punya isteri tiga, serta hobi koleksi jam tangan mahal. Mungkin ia juga menyukai mantan Presiden PKS yang sekarang mendekam di bui, karena tersangkut korupsi suap daging sapi impor.

Hak Fahri Hamzah pula untuk mengagumi Prabowo yang gagah, kaya,  mempunyai hobi menunggang kuda impor yang harganya juga sangat mahal. Hanya sayangnya,  selaku politikus,  dia selalu bersikap melecehkan Jokowi,  capres yang bertampang rakyat jelata. Sikap itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam,  prinsip yang seharusnya dijalankan kader-kader partai Islam, karena bisa saja orang yang dilecehkan itu,  lebih baik dan lebih terhormat di mata Tuhan.

Akan tetapi, meski bertampang rakyat jelata,  Jokowi ternyata adalah pemimpin yang hebat dan cerdas. Meskipun lebih dikenal dengan aksi blusukannya, sebagai gubernur dan sekaligus calon presiden,  Jokowi mempunyai pikiran dan ide-ide besar namun bisa langsung dipraktikkan, tidak hanya sekedar wacana.

Itulah yang terjadi kemarin. Selaku Gubernur DKI,  Jokowi menghadiri acara Rakornas V Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) 2014yang dihadiri oleh Menko Perekonomian baru, Chairul Tanjung,  Mendagri Gamawan Fauzi, Gubernur BI Agus Martowardoyo, dan para gubernur se Indonesia.

Sewaktu mendapat giliran berbicara,  Jokowi menjelaskan bahwa masalah terbesar kita (para kepala daerah) selama ini adalah komunikasi. Tidak berlangsung komunikasi antar kepala daerah secara efektif,sehingga berimbas pada stabilitas harga di tiap daerah. Jokowi mencontohkan "Kemarin saya main ke Sulsel. Ternyata di sana ada surplus beras 2,6 juta ton. Detik itu juga saya tanda tangan dengan Gubernur Sulsel dan berasnya langsung dikirim ke Jakarta. Ketakutan saya jika tidak distok dari Sulsel, nanti kekurangannya diisi beras impor. Saya ingin mencegahnya. Di Lampung juga ada buah dan sayur melimpah, untuk apa kita impor,"

Jokowi melanjutkan pandangannya. Untuk memudahkan kerjasama antardaerah, dibutuhkan infrastruktur laut yang memadai, Indonesia perlu membangun tol laut dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Tujuannya adalah  agar biaya kirim lebih murah. Yang dimaksud tol laut adalah pembangunan armada kapal-kapal besar yang dapat menghubungkan pelabuhan di Sumatera sampai Papua.

"Harus dibangun biar biaya kirim murah. Masak biaya kirim dari Jawa ke Eropa lebih murah daripada ke Papua. Kalau tiap hari ada kapal besar, saya yakin harga semen di Jawa Rp50 Ribu di Papua juga sama, biar keadilan merata. Kemudian di NTT, 40 Ribu sapi bisa sebenarnya sekali angkut jika menggunakan kapal besar. Tapi kapal kita cuma  berkapasitas 200 ekor sekali angkut,"

Mendengar itu, Gamawan Fauzi tampak serius sambil menopangkan tangan di dagunya. Sementara Chairul Tanjung terlihat mengangguk-angguk sembari tersenyum. Gamawan kemudian mengatakan kerja sama antardaerah yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus ditiru oleh provinsi dan daerah lainnya. Pada kesempatan yang sama, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya mengatakan  pemikiran Jokowi ini patut untuk diimplementasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Itulah Jokowi,  Ia adalah kita. Tetapi ia tidak sama dengan kita dalam hal kepemimpinan dan pikiran-pikiran besarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline