Lihat ke Halaman Asli

Nasib Usaha Mikro Sejak Dulu...

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian besar unit usaha ekonomi di negara kita masih tergolong usaha mikro. Jumlahnya mencapai lebih 56 juta unit usaha, atau sekitar 95% dari seluruh unit usaha yang ada. Disebut mikro karena saking kecilnya sehingga diperlukan alat yang namanya microscope (kaca pembesar), untuk mengurai dan menganalisis masalah yang dihadapinya.

Definisi yang dibuat Pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, disebut usaha mikro jika aset yang dimilikinya paling banyak Rp 50 juta, dan hasil penjualan (omset)  setahun paling banyak Rp 300 juta. Jadi rata-rata setiap bulan omsetnya paling tinggi Rp 25 juta,  atau sehari Rp 1  juta. Jika rata-rata keuntungan dari  total hasil penjualan tersebut  10%,  maka uang yang bisa dibawa pulang oleh pelaku usaha mikro paling tinggi hanyalah Rp 100.000.

Namun omset usaha mikro di atas adalah yang paling tinggi. Kenyataan di lapangan sebagian besar justru adalah unit usaha mikro dengan omset yang jauh lebih rendah, sehari hanya sekitar Rp 250 ribu, sehingga penghasilan yang diperoleh pelaku usaha mikro hanya sekitar Rp 25 ribu. Dengan penghasilan sebanyak itu para pelaku usaha mikro harus bertahan hidup untuk membiayai anak dan isteri. Dengan penghasilan sebesar itu para pelaku usaha mikro tergolong lapisan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan  dengan menggunakan standar, baik versi Bank Dunia US$ 1,25 per jiwa per hari maupun versi Pemerintah Rp 7 ribu per jiwa per hari.

Usaha mikro ada di sekeliling kita. Ia ada pada seluruh sektor ekonomi. Pelaku usaha mikro berjualan di kios-kios kecil,  di warung-warung  sederhana dan sempit. Mereka  adalah para penjual jasa sebagai tukang jahit, service elektronik, dan bengkel-bengkel motor di pinggir jalan. Mereka adalah para penjual  makanan seperti  gado-gado,  ketoprak, jamu,  bakso dan gorengan dan martabak. Mereka adalah  para petani berlahan sempit,  para peternak dan pembudidaya ikan pada kolam-kolam kecil.

Persaingan dengan para pelaku usaha besar bahkan konglomerat telah menghancurkan usaha-usaha mikro di seluruh pelosok negeri.  Para pelaku industri rakyat misalnya, membuat barang-barang yang sudah tergolong senja, karena barang dengan fungsi yang lebih baik telah dibuat secara masal oleh pabrik-pabrik dam  sudah membanjiri pasar. Lalu, kios-kios kecil  dan toko yang menjual barang sehari-hari semakin terdesak ke pinggir dengan berkembangnya minimarket sampai ke pelosok-pelosok kampung, seperti Indomart dan Alfamart yang menjadi kepanjangan tangan pengusaha raksasa ritel. Pemilik Alfamart dan Indomart itu sendiri tercatat sebagai salah satu dari lima puluh orang terkaya di negeri ini.

Usaha mikra dan kecil pernah berjasa bagi Indonesia. Ia berfungsi sebagai bantal pengaman perekonomian nasional pada saat krisis moneter meluluh lantakkan perekonomian Indonesia pada tahun 1997/1998. Itulah sebabnya Pemerintah berganti rezim,  seakan-akan mempunyai perhatian untuk pengembangan UKM dan mikro,  termasuk koperasi. Hal itu ditandai dengan masih adanya satu kementerian yang secara khusus yang menangani pengembangan  koperasi dan UKM.

Hanya sayangnya, selama ini keberadaan kementerian itu hanya sekedar formalitas  untuk menunjukkan bahwa pemerintah melancarkan program pengembangan koperasi dan UKM. Tetapi faktanya,  keberadaan kementerian itu tidak lebih dari politik akomodatif terhadap parpol pendukung pemerintah. Sudah sejak dulu,  Kementerian Koperasi dan UKM adalah pos yang diperuntukkan bagi pimpinan partai yang tidak punya background profesional dan tidak tahu banyak tentang masalah UKM dan koperasi. Tercatat,  pada 4 periode terakhir,  Menteri Koperasi dan UKM dua kali dijabat oleh politikus PPP, sekali oleh politikus Partai Demokrat dan sekarang oleh politikus PDI-P.

Itu pula sebabnya,  sudah lama Kementerian ini keberadaannya sama dengan tidak ada, atau dalam bahasa santri disebut “wujuduhu ka ‘adamihi”,  karena sama sekali tidak ada gebrakan dan  tidak ada terobosan. Yang ada justru hanya kekacauan dan rebutan jabatan seperti yang selalu terjadi pada setiap Munas  Dekopin. Hebatnya,  yang selalu menang adalah Nurdin Halid,  yang sudah 15 tahun lamanya berkuasa dan tidak ada yang mampu melengserkannya, pada hal ia tidak mempunyai prestasi apapun yang dapat dibanggakan.

Sejauh ini belum ada kabar berita tentang bagaimana Presiden Jokowi bersama Menteri Koperasi dan UKM yang baru mencari solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi usaha mikro dan  usaha kecil. Mungkin nasibnya akan lebih baik atau sama saja dengan yang terjadi di bawah rezim-rezim  sebelumnya. Kita hanya bisa menunggu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline